RAMADAN menjadi salah satu bulan yang dinanti-nanti kehadirannya. Ibadah puasa merupakan kewajiban bagi seluruh umat muslim termasuk anak-anak yang sudah memasuki periode akil balig. Orang tua yang anaknya hampir memasuki akil balig perlu memberikan perhatian khusus untuk mendidik kewajiban berpuasa. Tentu menjadi tantangan tersendiri mengajar anak menjalankan ibadah puasa selama lebih 12 jam sehari selama satu bulan penuh.
Mengajarkan anak menjalankan ibadah puasa tentu perlu menggunakan pendekatan sesuai dengan karakternya. Anak yang belum akil balig memiliki karakter menyukai bermain yang identik dengan keceriaan. Karena itu penting bagi orang tua mengajarkan puasa kepada anak dengan hal-hal yang menyenangkan dan penuh keceriaan. Ini bertujuan menghindari aspek trauma atau persepsi buruk anak karena pengajaran yang tidak tepat tentang ibadah puasa. Terlebih ibadah puasa kelak akan menjadi rutinitas anak di setiap tahunnya.
Mengajarkan anak berpuasa paling mudah menggunakan teladan. Contoh paling efektif untuk anak yakni orang tua sendiri. Sebagaimana teori perkembangan, anak usia sebelum balig membutuhkan sesuatu yang konkret dan menyenangkan. Melalui contoh dari orang terdekat, anak dapat mengamati penerapan ibadah puasa secara nyata dan utuh.
Contoh nyata membuat anak tidak perlu membayangkan penerapan berpuasa tetapi langsung menyaksikan orang tuanya. Anak dapat mengikuti keseluruhan fase rangkaian ibadah puasa secara utuh mulai dari sahur, menahan tidak makan-minum, berbuka sampai dengan ibadah tarawih.
Penanaman Nilai
Penanaman nilai yang baik dan benar melandasi keyakinan dan pengamalan anak. Jika orang tua merasa ada amalan yang kurang benar maka ini menjadi waktu yang tepat untuk menggali informasi tentang amalan puasa yang benar. Setidaknya orang tua mendapatkan dua pahala sekaligus, pahala belajar memberikan contoh kepada anak, sekaligus pahala mengajarkan kebenaran. Amalan yang dilakukan dengan bahagia dan antusias dapat menjadikan anak mengikuti seluruh tahapan ibadah puasa dengan penuh keceriaan.
Tidak mengapa memberikan hadiah kepada anak agar semangat menjalankan ibadah puasa misalnya barang-barang keseharian. Namun orang tua juga perlu menanamkan nilai yang dapat menjadikan anak untuk mengejar sesuatu yang lebih tinggi derajatnya dari materi yakni nilai kemuliaan setelah menjalankan ibadah puasa dengan baik.
Terkadang, untuk mengajarkan tentang arti pahala dan dosa kepada anak butuh contoh yang tidak abstrak namun tetap proporsional. Memberikan penghargaan kepada anak tidak semata-mata tentang materi. Hal ini untuk menjauhkan anak dari pemahaman bahwa indikator kesuksesan berorientasi sebatas materi.
Orang tua juga dapat memberikan hadiah berupa aktivitas, meluangkan waktu, kehangatan dan kebersamaan. Sebaliknya tidak jarang orang tua menggunakan contoh hukuman dalam pengajaran tentang makna dosa. Jika terpaksa orang tua harus menggunakan hukuman, gunakanlah hukuman yang mendidik. Islam membolehkan orang tua memberikan hukuman kepada anak, namun hukuman yang sifatnya tidak melukai. Misalnya mengarahkan pada produktivitas berupa menambahkan jam belajar, membantu kegiatan orang tua hingga aktivitas sosial yang membangun. Penghargaan dan hukuman dapat meningkatkan potensi yang ada pada diri anak.
-Penulis, Muhammad Ragil Kurniawan, Dosen PGSD Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
1 comment