Alat Deteksi Gelombang Otak Neurosains, Angin Segar Pencegahan Korupsi

Mahasiswa UAD, Davit Setyawan dan Muhammad Haryo Setiawan yang ikut dalam penelitian alat pendeteksi korupsi berdasarkan gelombang otak / ist

JOGJA, SMJogja.com – Kasus korupsi terus terjadi di Indonesia mulai dari tingkatan paling bawah hingga atas. Bahkan ketika pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia, termasuk negeri ini, perilaku korup masih saja terjadi. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih rendah, yakni 38 (skala 100) pada 2021 dan menempati urutan 96 dari 180 negara. Karena itu perlu pencegahan sejak dini supaya perilaku korup dapat dicegah.

”Neurosains merupakan bidang baru dalam pencegahan korupsi yang sedang kami kembangkan melalui penelitian dan penemuan alat atau model antikorupsi,” ungkap Ketua Tim Peneliti Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Dr Suyadi MPd I.

Ia bersama Anton Yudhana ST MT PhD dan Dr Anom Wahyu Asmorojati SH MH membuat alat pendeteksi gelombang otak untuk melihat kecenderungan perilaku korupsi. Dua mahasiswa juga terlibat dalam penelitian tersebut, Davit Setyawan dan Muhammad Haryo

Alat Deteksi

Read More

Suyadi menjelaskan, mereka mulai merintis penelitian itu tahun 2019 dengan model pendidikan antikorupsi berbasis neurosains. Tepatnya. model pendidikan antikorupsi dalam pembelajaran agama Islam berbasis neurosains. Inspirasinya dari buku Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhamamdiyah, tim merancang alat deteksi gelombang otak perilaku koruptif berbasis neurosains

”Beberapa literatur memang sudah menyebutkan neurosains menjadi pendekatan terbaru di bidang pencegahan korupsi. Pendekatan ini terbilang masih baru dan kami mencoba mengembangkannya,” ujar dosen Pendidikan Agama Islam tersebut.

Tahun 2020, tim mencoba meranncang membuat teknologi pencegahan korupsi dan mereka menamai alatnya, alat deteksi gelombang otak perilaku koruptif. Pada neurosains ada teori yang menarik bahwa gelombang otak koruptor hanya normal, tidak sehat. Implikasinya gelombang otak normal dan sehat berbeda. Terdapat enam area otak yang meregulasi perilaku, karakter, termasuk karakter antikorupsi, yakni kortek prefrontal, sistem limbik, ganglia basalis, girus cingulat, lobus temporalis, dan cerebellum.

Gelombang Otak

Menurut Suyadi, alat pendeteksi tersebut dapat dipakai semua penyelenggara negara. Misal saja, pada seleksi calon pejabat negara, aparat negara dan sejenisnya. Setelah menjalani berbagai tes, langkah terakhir adalah tes deteksi gelombang otak menggunakan alat neurosains. Gelombang otak tidak dapat berbohong, beda halnya dengan bahasa tubuh atau bahasa wajah.

”Ketika alat tersebut menunjukkan gelombang otak seseorang sehat, maka kemungkinan korupsi sangat kecil. Sebaliknya kalau hasil gelombang otak menunjukkan normal berarti potensi korupsinya lebih besar,” paparnya.

Anom menambahkan penemuan alat tersebut merupakan angin segar di bidang hukum. Alat itu bisa melakukan deteksi pencegahan sedini mungkin perilaku korup. Alat pendeteksi gelombang otak sebagai langkah antisipatif supaya korupsi dapat dicegah bukan sekadar ditindak. Aspek pencegahan sangat penting karena selama ini pada sisi pencegahan sangat lemah. Terbukti, selama masa pandemi Covid-19 korupsi terus terjadi bahkan anggaran untuk bencana pun dikorupsi.

”Keterlibatan kami dalam penelitian memberi pengalaman baru terutama dalam praktik. Banyak ilmu dan terapan yang kami dapatkan dan itu tidak ada dalam bangku di kelas. Ilmu dan praktik di lapangan sangat memperkaya kami,” tutur Davit dan Mohammad, mahasiswa yang terlibat secara langsung program penelitian tersebut.

Related posts

Leave a Reply