JOGJA, SMJogja.com – Mudik menjadi istilah untuk menggambarkan kegiatan seseorang pulang ke kampung halaman. Tradisi ini berawal dari umat muslim yang merayakan Lebaran di tanah kelahirannya.
Nah, bagaimana sebenarnya awal mula mudik? Mudik berasal dari kata ”udik”, bahasa Melayu yang artinya hulu atau ujung. Pada masyarakat Melayu yang tinggal di hulu sungai di masa lampau sering bepergian ke hilir sungai menggunakan perahu atau biduk. Setelah selesai urusan, kembali pulang ke hulu pada sore harinya.
”Itulah perngertian awalnya, dari bahasa Melayu, udik. Konteksnya pergi ke muara dan kemudian pulang kampung. Saat orang mulai merantau karena ada pertumbuhan di kota, kata mudik mulai dikenal dan dipertahankan hingga sekarang saat mereka kembali ke kampungnya,” ungkap Antropolog UGM, Prof Heddy Shri Ahimsa-Putra.
Pertumbuhan Kota
Menurut Heddy, istilah mudik mulai meluas sejak era 1970-an. Pada masa itu, Orde Baru melakukan pembangunan di pusat pertumbuhan kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan. Dampaknya, orang melakukan urbanisasi, pindah ke kota untuk menetap dan mencari pekerjaan.
Ia menuturkan, mereka yang bekerja dan hidup di kota, lama lepas dari kerabatnya. Padahal selama di desa bisa dekat dengan kerabat. Tentu ada rasa kangen. Mereka menunggu libur yang agak panjang agar bisa berkumpul di kampung halaman.
”Karena kita di Indonesia masyarakat muslim yang paling banyak, Lebaran menjadi pilihan. Berbeda di Amerika dan Eropa, warganya banyak pulang kampung saat perayaan thanksgiving atau perayaan Natal. Sementara di kita ya Idul Fitri,” papar Heddy.
Namun demikian, mudik bagi sebagian orang bukan semata-mata ajang kumpul keluarga. Mudik juga menjadi ajang bagi sebagian orang untuk pamer atas keberhasilan mereka di tanah perantauan. Mereka ingin menunjukkan sudah berhasil secara ekonomi.