JOGJA, SMJogja.com – Penyelesaian konflik Rusia-Ukraina melalui PBB belum memperlihatkan titik terang. Pasalnya, Rusia memiliki hak veto di United Nations Security Council (Dewan Keamanan) yang bisa menghambat langkah-langkah penyelesaian. Kuncinya, NATO dan EU harus turun tangan terlibat dalam perjanjian damai untuk menyelesaikan konflik kedua negara.
Dosen Studi Kawasan Eropa Program Studi Hubungan Internsional Universitas Islam Indonesia, Mohamad Rezky Utama SIP MSi mengungkapkan hal itu. Ia menyampaikan pada ”International Relations In Conversation dengan tema Russia-Ukraine Updates: What Happens Next”.
Menurutnya situasi yang terjadi di Ukraina tidak terlepas dari ekspansi NATO yang mulai melebarkan pengaruh di Eropa Timur. Ekspansi itu membahayakan Rusia karena berpotensi memindahkan rudal balistik yang awalnya di Rumania ke Ukraina. Ancaman terbuka bagi Rusia terbuka.
”Ukraina sangat dekat dengan Rusia dan menjadi buffer zone antara Rusia dan Eropa. Namun setelah revolusi 2014, Pemerintah Ukraina berpindah haluan, dari sebelumnya dekat dengan Rusia beralih mendekati NATO. Hal ini menyebabkan Belarusia menjadi satu-satunya buffer zone antara Rusia dan negara-negara Eropa,” papar Rezky.
Invasi Putin menjadi salah satu cara untuk mengembalikan Ukraina sebagai salah satu sekutu Rusia dengan mengganti rezim Pemerintah Ukraina. Rusia mendapat dukungan kelompok sepratis di Donetsk, Luhan, dan Krimea.
Perang Dingin
Pengamat lain yang juga dari UII, Irawan Jati SIP MHum MSS PhD (Cand.), menambahkan konflik Ukraina dan Rusia bukan konflik baru. Ia menilai merupakan sisa perang dingin yang masih bertahan. Meskipun beberapa pihak menyatakan perang dingin sudah lama selesai sejak runtuhnya tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet tetapi masih meninggalkan sisa.
”Langkah Rusia bukan hal yang baru karena pernah terjadi tahun 2014 saat negara itu mencoba menganeksasi kembali dan mengklaim Ukraina sebagai bagian sah dari Rusia,” ujarnya.
Irawan berpendapat dukungan Rusia kepada kelompok separatis Ukraina tidak terlepas dari konsep ”the enemy of my enemy is my friend” yang diadopsi Rusia. Negara tersebut mencoba memaksimalkan potensi kelompok-kelompok sparatis untuk mempertahankan dan memperkuat kedudukan di negara-negara yang pernah menjadi bagiannya.
Terkait indikasi konflik yang mengarah ke perang dunia ketiga, kedua narasumber sepakat menyatakan terlalu jauh melihat kondisi yang saat ini terjadi. Salah satu indikatornya, bantuan militer negara-negara anggota NATO seperti Turki, Kanada dan Spanyol lebih bersifat individu.
”Hal ini ditambah dengan pernyataan Presiden AS Joe Biden yang tidak akan mengirimkan bantuan militer ke Ukraina,” imbuh Irawan.
Pendekatan diplomasi menjadi salah satu solusi meskipun cukup bertele-tele. Pasalnya, legitimasi militer negara-negara di sekitar Rusia belum cukup kuat sehingga apabila memaksakan penyelesaian konflik cara militer malah akan mengarah pada invasi yang lebih besar.