JOGJA, SMJogja.com – Keterbukaan informasi dan data pemerintah sangat penting di era digital. Ini sebagai salah satu upaya pemenuhan UU Keterbukaan Informasi Publik. Sayangnya, belum semua jajaran di pemerintahan mau terbuka karena berbagai hal.
”Persoalannya, banyak yang berkepentingan. Ada yang mau data dan informasi untuk publik terbuka tetapi ada pula yang keberatan karena kepentingan tertentu,” ujar pakar digital forensik Universitas Islam Indonesia (UII), Dr Ahmad Luthfi.
Ia mengungkapkan hal itu dalam diskusi ”Menimbang Manfaat dan Risiko Membuka Data Pemerintah”. Diskusi berlangsung di Program Studi Informatika Program Magister Fakultas Teknologi Industri. ia mengatakan masyarakat harus terus mendorong supaya pemerintah semakin terbuka.
Menurut Luthfi, munculnya portal-portal keterbukaan data (open data portal) pada domain pemerintahan telah membuka akses luas bagi masyarakat. Sehingga mereka dapat menggunakan kembali data tersebut untuk kepentingan yang beragam.
Tiga Motivasi
”Setidaknya ada tiga motivasi utama mengapa pemerintah perlu melepas datanya ke publik. Ketiganya yakni, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, mendorong keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan, dan menciptakan nilai atau inovasi yang lebih baik,” papar Luthfi.
Namun demikian, proses pengambilan keputusan untuk membuka atau menutup kumpulan data bukanlah hal yang sepele. Ada banyak tantangan terutama bagi internal institusi pemerintahan.
Pertama, proses pengambilan keputusan pembukaan data ke publik melibatkan pemangku kepentingan yang memiliki latar belakang heterogen. Kecualu itu, pengetahuan dan pengalaman empiris yang tak sebanding, tujuan yang beragam, dan juga kepentingan berjarak.
Kurangnya wawasan dan keahlian dalam memprediksi sebab dan akibat dari pembukaan data juga dapat menciptakan ketidakpastian. Dampaknya, penghindaran pengungkapan kumpulan data.
Kedua, budaya menghindari risiko yang melekat pada pengambil keputusan berpotensi lebih kuat dibandingkan pemahaman kemuliaan melepas kumpulan data. Bagi penyedia data, jauh lebih mudah membuat keputusan untuk menjaga data tetap tertutup daripada mengambil risiko melepas datanya.
Beberapa potensi risiko pembukaan data seperti pelanggaran privasi, data yang tidak akurat, kesalahan dalam interpretasi data, dan kemungkinan penyajian data yang terduplikasi atau tumpang tindih. Ketiga, pemerintah belum memiliki sistem untuk mengidentifikasi dan menimbang manfaat, risiko, dan biaya pembukaan data.
”Konsekuensinya, proses pengambilan keputusan menjadi lambat dan kabur, sehingga tujuan mulia keterbukaan data ke publik tidak tercapai,” imbuh lulusan program doktoral bidang Open Government Data (OGD) pada Delft University of Technology (TU Delft) Belanda tersebut.
Sistem Pendukung
Ia melakukan penelitian mengembangkan sistem pendukung keputusan untuk menimbang manfaat dan risiko membuka data pemerintahan. Secara konseptual, sistem pendukung keputusan mengakomodasi penyedia data dengan pendekatan sistematis untuk memutuskan membuka data. Terdapat dua kontribusi utama dalam pembangunan sistem pendukung keputusan ini.
Pertama, sistem dapat menimbang dan mengklasifikasi tingkat potensi manfaat dan risiko kumpulan data. Dampaknya, pengambil keputusan dapat menentukan arah kebijakan apakah bisa melepas kumpulan data tersebut.
Kedua, sistem juga menyediakan beberapa alternatif keputusan lain dalam membuka data seperti memberikan batasan akses kepada pihak yang berkepentingan. Selain itu, melakukan perlakuan khusus terhadap data melalui mekanisme anonimisasi dan teknik penyamaran nilai data lainnya.
”Dengan demikian, sistem ini dapat memberikan preferensi yang lebih ilmiah, komprehensif dan moderat, dibandingkan pengambilan keputusan berdasarkan sistem binari yaitu buka dan tutup data,” tandasnya.