KEPERGIAN Buya Ahmad Syafii Maarif meninggalkan banyak kenangan bagi salah satu orang dekatnya. Ahmad Ma’ruf, dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, sering mendampingi Buya dalam berbagai aktivitas. Ia menceritakan, Buya merupakan insan ”langka” di Indonesia. Seperti halnya almarhum Gus Dur, pemikiran-pemikirannya jauh ke depan. Komitmennya pada keutuhan bangsa dan negara tidak diragukan lagi.
”Buya ini insan yang luar biasa, langka, humanis, laku hidupnya sederhana, bersahaja dan tidak silau jabatan,” tutur Ma’ruf yang begitu berduka atas berpulangnya Buya Syafii.
Ia mengenang pertemuan-pertemuan dengan Buya dalam berbagai kesempatan. Menemui Buya usai salat subuh di masjid yang tak jauh dari rumahnya merupakan pertemuan yang berkesan. Di sinilah Buya menyampaikan gagasan-gagasan kebangsaan dan memberi wejangan kepada generasi muda.
Dalam setiap kesempatan bertemu, Buya selaku menekankan pentingnya mengutamakan persoalan kebangsaan. Ia sangat peduli dengan kondisi bangsa. Pikirannya selalu resah setiap kali melihat karut-marut bangsa dan negara. Peristiwa politik yang memanas juga menjadi perhatian sekaligus keprihatinannya.
”Perhatiannya pada situasi kebangsaan tak terbantahkan. Beliau sangat peduli dan selalu mengeluarkan gagasan, saran, masukan demi keutuhan bangsa dan negara,” ungkap Ma’ruf.
Bergandeng Tangan
Buya menyimpan kegelisahan pada kondisi kebangsaan terutama setelah reformasi. Dalam satu kesempatan ia mengungkapkan gagasan supaya Muhammadiyah dan NU bergandeng tangan bersama mereka yang memiliki kehendak baik mengenai kebangsaan.
Ia mengingatkan terutama kaum muda harus bersama-sama, bersatu, bergandengan tangan menghadapi gerakan tarbiyah dan gerakan islamis lainnya yang jauh dari nilai-nilai keislaman. Ia mencontohkan sejumlah kelompok yang tak lagi memiliki rasa hormat pada negara bahkan tak mau mengakui negara RI.
”Pemikiran dan gagasan Buya jauh ke depan. Beliau menjalankan Islam berkemajuan, memperlihatkan wajah Islam yang otentik, yang toleran yang penuh damai,” imbuh Ma’ruf yang kerap menemani diskusi-diskusi kebangsaan.
Pada berbagai pembicaraan secara pribadi maupun di forum resmi, Buya selalu menekankan keutuhan bangsa, keutuhan Muhammadiyah dan keutuhan Islam. Ia mengajak seluruh bangsa menyadari perbedaan yang merupakan salah satu kekayaan dan kekhasan Indonesia. Pemikirannya ini tak lepas dari kepekaan dan kekritisannya melihat fenomena bangsa yang rapuh.
Komunikasi dengan Buya masih terus berlangsung bahkan saat ia terbaring lemah. Ketika sakit batu ginjal tahun 2019, Buya selalu mengabarkan kondisinya. Ia menyampaikan kondisi terakhir setelah mengalami penghancuran batu ginjal menggunakan sinar laser.
Begini isi pesannya, ”Para sahabat yang mulia, terima kasih atas segala doa dan perhatian terhadap sakit yang saya alami sejak Selasa 23 Juli ini. Penembakan tiga batu ginjal bagian kanan sebanyak 3.596 kali pada Jumat malam 26 Juli telah berhasil dengan baik di RS AU Hardjo Lugito di bawah pimpinan urulog Dr Nur yang baik hati. Begitu juga terima kasih yg tulus dari saya sekeluarga atas kiriman karangan bunga dari Presiden Jokowi, Sultan Hamengkubuwono X, Jeffrie Geovanie, Relawan, Ir BTP, dan PD Indonesia Tionghoa. Ada juga kiriman buah-buahan dari banyak pihak yang saya terima rasa syukur yang dalam. Semoga Allah membalas segala kebaikan para sahabat semua. Amin”.
”Kami yang muda-muda sudah seharusnya meneladani almarhum. Selamat jalan Buya, Sang Guru Bangsa,” tutur Ma’ruf.