JOGJA, SMJogja.com – Indonesian Visual Art Archive (IVAA) Yogyakarta menjadi salah satu tempat alternatif bagi mereka yang ingin mengenang sejarah serta menikmati karya seni, seniman Indonesia paska reformasi. Di sini tersedia ribuan koleksi seni yang bisa menjadi referensi bagi siswa, mahasiswa, akademisi, pecinta seni dan seniman sendiri.
Rumah yang dikenal sebagai perpustakaan arsip tersebut menyimpan segudang arsip karya seni para seniman. Lokasinya berada di Jalan Ireda Gang Hiperkes, Dipowinatan, Keparakan, Mergangsan, tak jauh dari pusat wisata titik nol kilometer.
”Lembaga ini berdiri April 2007 yang sebelumnya sebagai organisasi nirlaba bernama Yayasan Seni Cemeti pada (1995-2007). Pendirinya beberapa aktivis yang menggeluti bidang seni, budayawan serta jurnalis,” ungkap salah satu pengelolanya, Santosa.
Ia menceritakan, berdirinya lembaga berangkat dari keresahan pendiri karena banyak karya seni yang hanya dipamerkan tanpa ada ruang khusus untuk mengabadikannya. Jika tidak ada dokumentasi, mereka khawatir bakal hilang dan tidak dapat dikenang banyak orang.
Ruang Alternatif
Indonesian Visual Art Archive (IVAA) merupakan ruang alternatif untuk menandai perjalanan maupun dinamika seni Indonesia setelah reformasi. Pengunjung dapat menikmati berbagai arsip yang ada mulai dari foto (negatif film, positif film, cetak), video (cd/dvd/vcd/ dan VHS), audio (cassete), makalah, katalog, kliping, poster, leaflet/ pamflet, event ephemera, serta buku-buku bacaan yang jumlahnya mencapai 15.000 koleksi. Isinya berbagai jenis antara lain seni rupa, buku bertema sejarah, politik, sosial dan humaniora.
Santosa menyarankan pengunjung untuk membuat kartu anggota agar memperoleh banyak fasilitas. Cukup dengan menyiapkan uang Rp 100.000, pengunjung akan mendapatkan beberapa fasilitas antara lain meminjam buku, mengakses website secara online, serta konsultasi terkait arsip-arsip yang baru tanpa harus berkunjung langsung.
”Kami percaya karya seni mampu membuka wawasan dan pemahaman atas apa yang terjadi di lingkungan sekitar, mulai dari pemikiran kritis dan aspirasi warga. Banyak yang bisa dicatat, ditelaah, dan disosialisasikan,” imbuhnya.
Sebagai salah satu upaya eksplorasi arsip, IVAA menyadari pentingnya membawa kisah-kisah yang terkandung dalam dokumentasi kepada khalayak. Melalui pameran arsip, sejarah dihadirkan sebagai pengalaman yang cair dan hangat. Hal inilah yang selalu memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia, melalui terbukanya ruang percakapan intim yang kemudian menyusun sejarah-sejarah baru dalam kehidupan manusia.
”Kendala pengelolaan, belum ada tenaga profesional. Kami mengelola bermodal pengalaman dan belajar secara otodidak tanpa sekolah khusus. Namun demikian, ini justru tantangan agar kami dapat mengelolannya lebih baik,” tandas Santosa.