Fenomena Paradoks Salomo

Dr Dody Hartanto MPd / dok UAD

LIMA tahun terakhir sangat sering ditemui seseorang memberikan petuah, motivasi bahkan saran. Para motivator dianggap sebagai orang yang bijaksana dan tak jarang dianggap mampu memberikan solusi atas masalah kehidupan. Tidak sedikit motivator yang muncul atau memiliki acara di televisi atau memiliki youtube channel dengan ribuan subscriber.

Hal tersebut bisa jadi menunjukkan kehidupan merupakan rangkaian atau perputaran dari masalah dan individu berusaha untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Ragam masalah dan upaya individu dalam mencari jalan keluar atas masalah yang dihadapi menjadi fenomena menarik untuk dikaji.

Acap kali ditemui individu yang pandai memberikan nasehat atas masalah orang lain, namun tidak bisa mememcahkan masalah pribadi yang sedang dihadapi. Keadaan individu sangat pintar memberikan saran, nasehat atas permasalahan orang lain namun tidak bisa menerapkan nasihat atau saran itu untuk masalahnya sendiri dikenal dengan fenomena Paradoks Salomo. Fenomena ini pertama kali diperkenalkan oleh Igor Grossmann and Ethan Kross dari University of Waterloo dan University of Michigan.

Penamaan fenomena ini dilatarbelakangi oleh cerita tentang Raja Solomon yang diketahui merupakan pemimpin ketiga sebuah kerajaan besar di masa lalu. Dianggap sebagai raja yang diteladani dan bijaksana. Dikatakan bahwa selama pemerintahannya, banyak orang yang datang untuk meminta nasehat dan juga mendapatkan solusi atas masalah yang dimiliki. Namun dibalik itu semuanya, diketahui bahwa kehidupan pribadinya berantakan karena keputusan yang buruk dan hasrat yang tidak terkendali.

Read More

Grossmann dan Kross pertama kali mempublikasi istilah tersebut dalam International Convention of Psychological Science 1 di Amsterdam. Mereka memaparkan hasil riset pada 693 partisipan. Hal menarik dari penelitian, korelasi antara usia dan kebijaksanaan. Grossmann mengeksplorasi dengan merekrut sukarelawan usia (60 hingga 80) dan usia (20 hingga 40), dan meminta mereka untuk memberi alasan tentang jenis masalah pribadi yang berbeda-beda dalam hal ini yang melibatkan bukan perselingkuhan tetapi pengkhianatan oleh teman atau anggota keluarga.

Perbedaan Perspektif

Hasil riset mengejutkan. Berlawanan dengan pandangan umum bahwa pengalaman (usia) membawa kebijaksanaan. Orang yang lebih tua dan lebih muda dalam penelitian tidak dapat dibedakan dalam masalah kebijaksanaan ketika menghadapi masalah, apalagi tentang konflik pribadi. Subjek yang lebih tua sama rentannya dengan yang muda. Jadi kebijaksanaan tidak hanya milik individu yang telah berusia tua. Bahkan individu yang sudah berusia lanjut, tetap rentan masalah.

Apa penyebab dari fenomena tersebut? Berbagai literatur menunjukkan bahwa fenomena ini karena perbedaan perspektif dalam melihat suatu masalah. Pada saat individu terlibat dalam suatu masalah yang dialami oleh orang lain, cenderung untuk memberi jarak atau mencoba membuat pemisahan atas masalah tersebut.

Sementara itu ketika seseorang melihat masalah untuk diri sendiri, cenderung hanya fokus pada masalah tersebut dan terlarut dalam masalah yang dihadapi. Ketika ketika melihat masalah orang lain, seseorang berusaha untuk melihat masalah tersebut dari berbagai sudut pandang, sangat berhati-hati karena menyangkut orang lain. Sehingga mampu menemukan dan memberikan solusi dari masalah tersebut. Saat menangani masalah diri sendiri, cenderung mengabaikan berbagai sudut pandang orang lain.

Saat sudah mengetahui fenomena tersebut bagaimana cara menyelesaikannya? Metode pertama dikenal dengan Best Friend Method, yaitu metode yang menekankan pada upaya memberi jarak antara seseorang dan masalah yang sedang dihadapi untuk melihat atau menganalisisnya dari sudut pandang orang luar. Individu yang sedang memiliki masalah harus menempatkan diri sendiri sebagai orang ketiga, misalnya dia atau mereka.

Metode kedua adalah ”sisi lain””, individu diajak berlatih mempertimbangkan perspektif orang yang terlibat dalam konflik, berupaya fleksibel dalam mencari alternatif solusi dari suatu masalah dan mau mengakui ketidakpastian dan batas-batas pengetahuan (limit of knowledge). Hal ini tentu mengarahkan individu agar juga melibatkan peran dari Sang Maha Pencipta kehidupan.

  • Penulis, Dr Dody Hartanto MPd, Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Related posts

Leave a Reply

1 comment