JAKARTA, SMJogja.com – Perdagangan karbon menjadi isu menarik berbagai kalangan. Perdagangan karbon atau carbon trade merupakan salah satu upaya mitigasi iklim. Pertama kali diperkenalkan melalui Protokol Kyoto yang disepakati pada Konvensi Rangka Kerja PBB tentang perubahan iklim tahun 2005.
”Perdagangan karbon pada prinsipnya sama dengan konsep jual beli. Namun dalam hal ini perdagangannya emisi karbon,” ungkap Direktur Utama PT Kliring Berjangka Indonesia (KBI), Fajar Wibhiyadi.
Ia menjelaskan dalam skema perdagangan karbon, yang berlaku sistem kredit atau kuota. Setiap perusahaan yang menghasilkan emisi karbon akan memperoleh kuota tertentu. Jika produksi emisi karbon melebihi kuota tersebut, perusahaan dapat membeli kredit pada perusahaan lain yang memiliki kuota.
Saat ini perdagangan emisi karbon meliputi karbon dioksida (CO2), Metana (CH4), Hidroflurokarbon (HFCs), Nitrat Oksida (N2O, Perfluorokarbon (PFCs) dan Sulfur Heksafluorida (SF6).
Di Indonesia, implementasi crediting telah berjalan sejak tahun 2007 melalui proyek Clean Development Mechanism (CDM) berdasarkan Protokol Kyoto. Dengan CDM, memungkinkan pengusaha Indonesia membangun proyek emisi rendah. Indonesia akan menjual sertifikat penurunan emisinya kepada negara-negara maju.
Hal Baru
Sebagai negara pihak pada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Indonesia juga telah memberikan komitmen untuk menurunkan emisi GRK 29 persen. Ini dari skenario emisi Gas Rumah Kaca secara Business as Usual (BAU), yang mana pada tahun 2030 emisi GRK proyeksinya sekitar 2.881 GtCO2e.
Terkait perdagangan karbon di Indonesia, regulasinya Peraturan Presiden No 98 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon untuk pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional dan pengendalian emisi gas rumah kaca dalam pembangunan nasional. Peraturan Presiden menyebutkan perdagangan karbon dapat melalui bursa karbon, dan atau perdagangan langsung.
”Perdagangan karbon tentunya akan menjadi hal baru di Indonesia. Sesuai dengan Peraturan Presiden, perdagangan karbon dapat melalui bursa karbon, dan atau perdagangan langsung, yang tentunya ada lembaga kliring dalam ekosistemnya,” papar Fajar.
Pihaknya yang telah memiliki pengalaman 37 tahun sebagai lembaga kliring di perdagangan berjangka komoditi siap melakukan itu. Pengalaman ini menjadi modal positif bagi KBI untuk menjadi lembaga kliring di perdagangan karbon, melalui bursa dan atau perdagangan langsung.
”Kami saat ini tengah mempersiapkan segala sesuatu untuk berperan sebagai lembaga kliring perdagangan karbon di Indonesia. Persiapan meliputi aspek teknologi, infrastruktur, maupun sumber daya manusia,” tandasnya.
Menurut Fajar, KBI akan memanfaatkan teknologi blockchain. Dengan teknologi tersebut, dapat memberikan jaminan keamanan atas pencatatan kredit karbon dan memastikan tidak terjadinya double counting dalam proses pencatatannya.