SLEMAN, SMJogja.com – Anomali trafik keamanan siber di Indonesia masih saja tinggi. Sepanjang tahun 2022, Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN) mencatat lebih dari 976 juta anomali trafik.
Sementara pada 2023 ini, hingga bulan Mei data anomali telah menembus 161 juta. Sama seperti sebelumnya, jenis anomali tertinggi berupa aktivitas malware disusul information leak atau kebocoran data, dan aktivitas trojan.
Menurut Deputi Keamanan Siber dan Sandi Pemerintahan dan Pembangunan Manusia BSSN, Sulistyo, tingginya anomali trafik itu terutama dikarenakan masih banyak pengguna gadget yang tidak menginstal anti virus. Sama halnya, aplikasi anti virus yang ada pada komputer juga acap tidak diperbarui.
“Selama hampir satu semester ini kita masih mengalami anomali trafik. Rata-rata per bulan datanya berkisar 20 juta hingga 30 jutaan juta, tertinggi pada bulan Maret mencapai 42 juta,” kata Sulistyo saat menjadi keynote speech seminar Yogyakarta Cyber Resilience 2023 di Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII), Senin (19/6).
Dia menambahkan, ancaman data saat ini menjadi momok bagi penyelenggara elektronik. Ancaman tersebut ada tiga macam yakni data dicari, data diberi, dan data dicuri. Untuk data dicari, kerentanan bisa terjadi saat pengguna internet melakukan browsing dengan menuliskan keyword maka dengan mudahnya, data pribadi akan tertampang.
Profil termasuk foto yang muncul di mesin pencari ataupun media sosial, bisa disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. “Kita selaku pemilik data pribadi harus berhati-hati. Jika UU Nomor 27 Tahun 2022 sudah diimplementasikan nantinya otoritas pengawas akan memberikan saksi bagi pengolah data yang melanggar ketentuan,” ujarnya.
Langkah kehati-hatian juga perlu dilakukan ketika menginstal suatu aplikasi dengan membaca persyaratan terlebih dulu. Sehingga tidak ada lagi kejadian data pribadi pada platform besar dimanfaatkan oleh pihak ketiga untuk kepentingan tertentu.
Dalam sambutannya, Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik dan Riset UII Prof Jaka Nugraha mengatakan, transformasi digital yang dijalankan kampusnya dalam beberapa tahun terakhir memberikan pengalaman berharga agar semakin menyadari pentingnya resiliensi siber.
“Transformasi digital yang semakin masif telah menjadikan resiliensi siber semakin mendesak dan relevan. Ancaman siber yang terus berkembang secara konstan mengharuskan kita untuk memahami dan menghadapinya dengan kesiapan dan ketahanan yang tepat,” tandasnya.
Secara umum, resiliensi siber adalah kemampuan suatu organisasi atau sistem untuk bertahan dari serangan siber, mengatasi dampaknya, dan pulih dengan cepat setelah terjadi insiden keamanan. Upaya ini membutuhkan kebijakan, praktik, dan teknologi yang tepat.