JOGJA, SMJogja.com – Pemerintah perlu memikirkan keberlangsungan hidup para pedagang kali lima (PKL) Malioboro. Mereka baru saja menempati lokasi baru setelah pindah dari trotoar dan selasar Jalan Malioboro. Selain itu, ada baiknya tempat relokasi menjadi ikon baru bagi pengunjung bahwa Yogyakarta memiliki tempat berbelanja yang menarik.
Sosiolog dari UGM, Wahyu Ksutiningsih SSos MA memberi masukan Pemda DIY memperhatikan keberlangsungan sosial ekonomi PKL pasca relokasi. Salah satunya dengan membuat program yang mampu memberikan jaminan bagi keberlangsungan sosial ekonomi.
”Pemerintah perlu mempertimbangan kondisi pasca relokasi, tidak serta merta melepas. Perlu pendampingan atau program yang membuat kondisi sosial ekonomi PKL tetap berjalan,” pinta Wahyu.
Ia mengatakan relokasi bukan hanya memindahkan komunitas pedagang ke kawasan baru dan mengelompokkan berdasar jenis dagangan. Pemerintah harus memperhatikan ikatan sosial yang nantinya terbentuk di tempat baru misalnya berrisiko konflik atau tidak.
Pendapatan Turun
Dampak terburuk relokasi bagi PKL yakni turunnya pendapatan karena pengunjung sepi. Terlebih sekarang masih dalam situasi pandemi Covid-19. Apabila situasi ini tidak teratasi maka risiko munculnya tindakan negatif atau kriminal tinggi.
”Perlu memikirkan pula apakah para pengunjung akan menyesuaikan seperti berbelanja ke sana atau tidak,” tandas dosen Departemen Sosiologi FISIPOL UGM tersebut.
Ia menegaskan perlunya mengembangkan program-program yang bisa menjamin PKL setelah relokasi. Ia memberi contoh antara lain membuat rekayasa alur atau rekayasa sosial. Program lain, enjadikan ruang PKL sebagai ikon baru Yogyakarta. Dengan begitu dapat menarik wisatawan untuk berkunjung ke tempat relokasi.
”Jadikan ruang baru ini sebagai ikon sehingga wisatawan bakal merasa kurang lengkap kalau tidak berkunjung ke sana,” jelasnya.