JAKARTA, SMJogja.com – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI dan Ahli Hukum Tata Negara, Jimly As-Shiddiqie menilai dinasti politik merajalela di mana-mana. Dinasti berkolaborasi dengan oligarki ekonomi, karena demokrasi menunjukkan gejala makin lama makin mahal.
”Demokrasi membutuhkan biaya sehingga pemilik modal semakin besar perannya dalam menentukan proses-proses politik. Ekonomi, dinasti, politik campur aduk,” tandas Jimply.
Ia menyampaikan penilaiannya tersebut dalam Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah-‘Aisyiyah di Universitas Muhammadiyah Jakarta, kemarin. Karena itu, dalam seminar secara daring dan luring tersebut, ia mengatakan rekonstruksi untuk memulihkan kualitas demokrasi menjadi agenda penting Indonesia.
Rekonstruksi ada dua, yakni institusionalisasi (pelembagaan) politik dan konsolidasi politik. Pasalnya, yang terjadi saat ini proses pembongkaran kelembagaan politik (de-institusionalisasi) dari fungsi dasarnya. Ia juga menilai yang terjadi sekarang campur aduk, urusan privat dan urusan publik. Menurutnya sulit menentukan pernyataan pejabat dalam kapasitas kedinasan atau pribadi. Tiap hari semua orang bicara, menggunakan kebebasan.
”Kadang bukan urusannya ia omongin juga. Lalu ada orang lain mengutipnya, jadi kacau ruang publik,” tandas Jimly.
Menurutnya proses de-institusionalisasi politik semakin besar akibat belum berjalannya sistem yang secara ketat mengatur ruang bagi para politisi yang berlatar belakang pebisnis. Konflik kepentingan di kalangan para pejabat pun sulit terhindarkan karena banyak pejabat politik di pemerintahan yang juga pengusaha.
Penguatan Konsolidasi
Jimly menyebut ikhtiar untuk menjegal upaya de-institusionalisasi antara lain dengan mengusulkan sejumlah Undang-Undang (UU) seperti UU Larangan Konflik Kepentingan, reformasi UU PT, UU Penyiaran, UU Pemilu.
Ada juga UU yang mengatur agar batas maksimum dinasti politik dalam suatu partai hanya boleh dua generasi dan berjeda. Penguatan konsolidasi dan institusionalisasi politik juga penting untuk mengikis budaya dan alam bawah sadar feodal yang masih menjadi corak intrinsik partai politik di Indonesia.
Warisan budaya feodal pertama kali tampak ketika perdebatan sistem tata negara Indonesia di sidang BPUPK pukul 03.00, tanggal 1 Juli 1945. Perdebatan runcing mengakibatkan sidang yang biasanya selalu memakai sistem musyawarah akhirnya memakai voting. Langkah tersebut untuk menentukan Indonesia memakai sistem kerajaan atau republik.
”Sekarang setelah 76 tahun merdeka. Apa ini sudah selesai? Belum. Lihatlah partai-partai yang lahir setelah reformasi, cepat sekali menjadi kerajaan. Semuanya,” ujar Jimly.
Selain mencegah de-institusionalisasi, penguatan pelembagaan dan konsolidasi politik berguna memperkuat tata kelola negara yang bertumpu pada sistem bukan bercorak feodal yang bertumpu pada figur pemimpin.
”Semakin besar dan modern suatu organisasi, ketergantungannya pada sistem semakin tinggi. Semakin kecil dan tradisional suatu organisasi, ketergantungannya pada faktor figur semakin kuat. Indonesia sebagai organisasi besar yang menjadi kekuatan demokrasi terbesar ketiga di dunia memerlukan penguatan sistem kepemimpinan, bukan figur,” tegasnya.