JOGJA, SMJogja.com – Kasus tindak pidana ringan tak harus ke proses pengadilan. Ada upaya restorative justice atau keadilan restoratif sebagai penyelesaiannya. Ini berangkat dari kekecewaan masyarakat yang menilai sistem hukum mencederai rasa keadilan dan kemanusiaan.
”Penyelesaian tersebut menjadi alternatif penyelesaian kasus tindak pidana ringan yang tujuannya mewujudkan keadilan hukum yang lebih memanusiakan manusia di hadapan hukum,” ungkap Koordinator Direktorat Orang dan Harta Benda, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Zet Tadung Allo SH MH.
Ia mengatakan itu pada seminar nasional Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) secara daring melalui zoom meeting. Menurutnya hukum terus bergerak mengikuti dinamika masyarakat. Karenanya keadilan restoratif menjadi terobosan untuk mewujudkan keadilan hukum yang memanusiakan manusia, menggunakan hati nurani.
Selain itu, melawan stigma negatif yang tumbuh di masyarakat yaitu hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Sehingga perkara-perkara yang sifatnya sepele atau ringan, penyelesaiannya di luar pengadilan dan tidak perlu ke pengadilan.
Menurutnya, penerapan keadilan restoratif dengan cara memediasi antara korban dan pelaku kejahatan dalam penyelesaian permasalahan bertujuan pemulihan kerugian pada korban. Kecuali itu, pengembalian pada keadaan semula.
”Melalui restorative justice, stigma negatif atau labeling orang salah dihapuskan. Ia tidak akan menjalani proses hukum di depan umum dan mendapat kesempatan bertaubat. Kalau dalam masa kesempatan orang itu mengulangi perbuatannya, ia siap masuk penjara,” imbuh Zet.
Respons Positif
Penyelesaian perkara melalui restorative justice mendapat respons positif dari masyarakat. Hal itu terbukti sejak terbitnya Peraturan Kejaksaan (Perja) No 15 Tahun 2020, penerapan keadilan restoratif di tingkat kejaksaan relatif meningkat. Banyak permintaan penyelesaian perkara di luar pengadilan. Per tanggal 1 Maret 2022 dari tiga kejaksaan tinggi telah menghentikan sebanyak 870 perkara berdasarkan keadilan restoratif dan yang ditolak sebanyak 54 perkara.
Narasumber lain, Kapolres Padang AKBP M Qori Ya Oktohandoko SIK MH menjelaskan hadirnya Peraturan Kepolisian (Perpol) No 8 tahun 2021 tentang syarat, tata cara serta pengawasan, penghentian, penyelidikan dan penyidikan tindak pidana melalui pendekatan keadilan restoratif dengan alasan demi hukum, menjadi solusi untuk mengurangi kapasitas lembaga permasyarakatan.
”Banyak kasus yang sebenarnya bisa selesai dengan cara damai. Sehingga masalah-masalah ringan bisa selesai melalui keadilan restoratif dan menjadi solusi mengurangi kepadatan lembaga permasyarakatan,” tandasnya.