YOGYAKARTA, SMJogja.com – Selama ini tidak ada acuan bagi kejaksaan dalam menentukan besaran tuntutan pidana denda dalam kasus pidana umum. Kekosongan regulasi iniĀ berpotensi memunculkan disparitas dan tuntutan yang tidak proporsional. Hingga akhirnya, penerapan putusan pengadilan menjadi tidak optimal.
Menyikapi persoalan yang kontra produktif itu, Jaksa Agung RI telah menetapkan kebijakan tentang tuntutan dan pelaksanaan denda perkara tindak pidana umum. Mulanya, implementasi kebijakan tersebut merupakan gagasan dari Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Wakajati) DIY Rudi Margono yang dituangkan dalam project perubahan. Ide itu ternyata disambut baik hingga kemudian lahir Pedoman Nomor 7 Tahun 2022 yang disahkan tanggal 19 Juli.
Menurut Rudi, kedudukan pidana denda sejatinya sama dengan penjara yakni sebagai pidana pokok. Namun selama ini, penegak hukum sering abai lantaran belum ada tolak ukur dalam menentukan nominal denda. “Kecenderungannya pidana denda dicantumkan sebagai subsider padahal seharusnya adalah kewajiban. Disamping itu juga menyebabkan perkara turun grade menjadi pelanggaran,” urainya saat menjadi pembicara diseminasi dan uji publik Pedoman 7/2022 di Aula Kejati DIY, Senin (8/8).
Dia juga mengajak semua pihak untuk meresapi seberapa jauh efektivitas dari semakin lamanya pidana penjara. Alih-alih, biaya yang dikeluarkan negara kian membengkak bahkan banyak lapas yang overload.
Di lain sisi, kehadiran Pedoman ini akan memberikan pendekatan yang lebih berkeadilan, dan semakin efektif jika pelakunya adalah korporasi. Negara juga akan diuntungkan melalui peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). “Secara aspek yuridis dan ekonomis, pidana denda memiliki nilai strategis. Selain itu penerapannya lebih humanis dan punya efek jera karena yang disasar adalah harta benda milik pelaku,” papar Rudi.
Dalam menjatuhkan tuntutan, jaksa nantinya mengacu variabel yang dikelompokkan berdasar kualifikasi tindak pidana dan terdakwa, kerugian, dan keuntungan yang diperoleh. Semisal untuk terdakwa korporasi, variabel disesuaikan dengan pertimbangan posisi jumlah pegawai dan directing mind. Pembobotan tiap kelompok variabel disesuaikan fakta hukum persidangan berdasar pemeriksaan alat bukti yang sah.
Sementara itu, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia Boyamin Saiman berpendapat perlunya penyesuaian besaran denda dengan angka inflasi. Dia juga menyarankan adanya penerapan jaminan penangguhan penahanan sebagaimana telah diterapkan di beberapa negara.