Kembangkan Pola Barat, Arsitektur Indonesia Belum Berpijak di Kearifan Lokal

Prof Dr Ing Ir Eugenius Pradipto / ist

JOGJA, SMJogja.com – Bentuk atap arsitektur tradisional merupakan wujud ekspresi hubungan harmonis antar manusia dengan Sang Pencipta. Penutup atap berperan sebagai media peralihan udara panas di ruang atas dan mengalirkannya menerobos ke luar ruangan.

Guru Besar Bidang Ilmu Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik UGM, Prof Dr Ing Ir Eugenius Pradipto mengungkapkan itu pada pidato sebagai guru besar di Balai Senat UGM. Dalam pengukuhannya ia menyampaikan pidato berjudul ”Rekayasa Bambu Berbasis Kearifan Lokal untuk Arsitektur Beratap Indonesia”.

Ia menjelaskan pendidikan arsitektur di Indonesia mengarah pada penguasaan keahlian merancang bangunan dengan fokus pada parameter fungsi, iklim, konstruksi, dan bahan bangunan. Pola pemikiran barat dipelajari, diperdalam, dikembangkan dan dipergunakan dalam proses desain arsitektur di Indonesia, kemudian faktor iklim tropis dan kebencanaan dihadapi dan diselesaikan dengan cara teknologi, ”dilawan” atau ”ditaklukkan”.

”Arsitektur Indonesia saat ini belum berpijak di atas bumi alam tropis lembab dan lingkungan yang penuh kebencanaan. Mereka asyik mencari bentuk baru. Padahal kearifan lokal di Indonesia sudah punya pola dan bentuk sendiri. Kita tinggal mengisi dan meningkatkan kualitas,” tandas Pradipto.

Read More

Landasan Kepercayaan

Sebagian besar arsitektur tradisional yang tersebar di Nusantara memiliki landasan kepercayaan terhadap kosmologi. Kepercayaan itu mendasari sikap hidup bersama dengan alam dan lingkungannya yang mereka pegang teguh dan jalankan secara konsekuen sehingga mengakar kuat dan terwujud dalam arsitektur tradisional daerah.

Ragam arsitektur tersebut dipertajam oleh keadaan atau nilai kearifan lokalnya, bukan saja unik namun juga sangat khas. Tampilan atap bangunan sangat beragam bukan hanya untuk mengatasi iklim lembab basah namun juga mengekspresikan nilai sosial-budaya daerah.

Dalam pidatonya, Pradipto menekankan prinsip-prinsip keseimbangan dan kelenturan konstruksi dalam menanggapi kemarahan alam dan lingkungan merupakan prinsip dasar untuk membangun pemahaman dan mewujudkan arsitektur beratap berkarakter Indonesia.

”Arsitektur beratap Indonesia akan tumbuh dan berkembang apabila memberikan nilai manfaat bagi penghuni di bawah atap blok sirap bambu. Ini menjadikan penghuninya sehat, nyaman dan tentram,” imbuhnya.

Related posts

Leave a Reply