Koko dan Anak-Anak di Pelosok Tanah Air

Anak-anak di pedalaman Sumatera Selatan harus berjalan kaki menembus hutan selama 1 jam untuk mencapai sekolah / ist

JOGJA, SMJogja.com – Banyak anak di daerah pelosok tidak memperoleh akses pendidikan yang baik. Mereka harus berjuang supaya mendapatkan pendidikan seperti teman-teman seusianya yang ada di perkotaan.

Karena itulah, Pemerintah menggulirkan Program Guru Garis Depan (GGD) dan Sekolah Garis Depan (SGD) sebagai perwujudan nawacita ketiga berupa tenaga pendidik dan pembangunan sekolah di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).

Melalui dua program tersebut, harapan Presiden Joko Widodo agar wilayah pinggir Indonesia juga ikut maju dapat tercapai, salah satunya bidang pendidikan. Program GGD dimulai pada 2015 dengan mengirimkan 798 guru tersebar di 28 kabupaten di daerah 3T di empat provinsi. Mereka terpilih melalui seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) formasi PNS untuk para lulusan SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah 3T).

”Dari target sebanyak 4.298 guru, sebanyak 1.480 guru mendaftar. Saya kebetulan menjadi salah satu peserta GGD yang sekarang ditempatkan di SD Embacang Lama Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan,” tutur Koko Triantoro, alumni Prodi Pendidikan IPA Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta.

Read More

Ia memiliki banyak pengalaman mengajar di daerah 3T karena merupakan alumni Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, Dan Tertinggal (SM3T) penempatan Ende Nusa Tenggara Timur serta pernah mengajar di Astra Agro School Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

Kesenjangan Tinggi

”Pengalaman mengajar di daerah terpencil 3T, saya sadar akan kesenjangan yang sangat tinggi utamanya bidang pendidikan yaitu bahasa, membaca dan berhitung,” kata Koko.

Sejak 2017, ia yang bertugas di SD Rompok Tebing Tinggi, harus berjalan kaki pergi-pulang 90 menit melewati hutan. Padahal jika ditempuh menggunakan perahu hanya 15 menit namun tidak setiap saat bisa naik perahu. Saat itu muncul pemikiran untuk membangun pedalaman supaya anak-anak bisa lebih mudah menggapai sekolah.

Koko juga aktif di Koordinator Relawan Negeri Nasional yang menaruh perhatian terhadap pendidikan di daerah terpencil. Sebagai relawan, ia menaruh perhatian pada pendidikan di wilayahnya, seperti di SD Negeri Sungai Jambu wilayah Dusun 5 Desa Muara Tiku Kecamatan Karang Jaya Musi Rawas Utara.

Siswa sekolah tersebut haarus berjalan kaki selama satu jam menempuh jalan yang curam dan menyeberangi sungai untuk ke sekolah. Bahkan jika hujan lebat, mereka pasti terlambat datang atau tidak masuk sekolah karena jalan yang sulit, licin dan berbahaya.

Butuh Perahu

Pihak sekolah dan para guru memang sangat mengerti keadaan siswanya. Mereka sangat bangga karena siswa ingin terus sekolah meskipun harus berjalan jauh. Ia berharap ada bantuan perahu untuk 20 siswa dan sembilan guru yang mengajar di SD Negeri Sungai Jambu karena dapat memotong waktu ke sekolah menjadi hanya sekitar 15 menit.

Selain kendala geografis, kegiatan mengajar di SD Embacang Lama menghadapi kesulitan karena kendala bahasa. Para siswa terbiasa menggunakan bahasa daerah, mereka kesulitan memahami pelajaran menggunakan bahasa Indonesia.

”Saat ini kami sedang menggarap program zero literacy (nol buta aksara/membaca) dengan metode calistung grade. Metodenya dari kelas 1-6 diklasifikasikan dengan grade A-D kategori kemampuan membaca,” papar Koko.

Setelah ada data dari wali kelas, siswa akan dikelompokan dalam grade tersebut sesuai kemampuannya. Grade terendah D dan tertinggi A. Waktu kegiatan seminggu dua kali, masing-masing 30 menit menjelang waktu pulang. Hasilnya dievaluasi tiap dua minggu sekali. Ia berharap dengan program tersebut anak-anak lebih cepat bisa membaca dan berbahasa Indonesia.

Related posts

Leave a Reply