DEWASA ini, Indonesia sedang berupaya mewujudkan cita-cita luhur kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun hal ini masih jauh dari kata tercapai mengingat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia.
Hal itu tergambar dari sistem pendidikan yang sentralistik, ketidakmerataan kualitas pengajar, kesenjangan sarana dan prasarana. Belum lagi beban administatif guru yang tinggi, hingga pola pengajaran yang membelenggu kreativitas siswa. Keadaan itu terus menjadi momok.
Pemerintah telah melakukan upaya, misalnya penambahan anggaran pendidikan, sertifikasi kompetensi guru, hingga perubahan kurikulum yang mengacu pada kompetensi abad 21. Prinsip-prinsip berpikir kritis, berkreasi, berkomunikasi, berkolaborasi, dan bekerja sama, nyatanya jauh panggang dari api.
Praktik-praktik pembelajaran di sekolah masih menempatkan guru sebagai subjek dan murid sebagai objek. Fakta-fakta tersebut setidaknya terkonfirmasi melalui gagasan Merdeka Belajar Menteri Pendidikan Nadiem Makarim.
Merdeka Belajar merupakan salah satu program inisiatif Nadiem yang ingin menciptakan suasana belajar yang bahagia dan menyenangkan. Tujuannya, para guru dan siswa bisa mendapat suasana yang bahagia dalam proses pembelajaran bersama.
Dengan kata lain, kehadiran gagasan Merdeka Belajar pada prinsipnya merespons iklim pembelajaran yang tidak memberikan kesempatan untuk berinovasi, berkreasi, dan berkolaborasi.
Kualitas Rendah
Proses pembelajaran yang tidak mermerdekakan terbukti dengan rendahnya kualitas pendidikan dan pelajar Indonesia dalam Programme for International Student Assessment (PISA). Survei pada Desember 2019 menempatkan Indonesia pada posisi ke – 74 dari 79 negara lainnya. Posisi itu pun semakin mengukuhkan Indonesia pada peringkat 10 terbawah sejak periode 2009.
Di sisi lain, data World Population Review tahun 2021 menempatkan kualitas Indonesia di peringkat ke – 54 dari total 78 negara. Meskipun berhasil naik satu tingkat dari tahun sebelumnya, namun posisi ini masih cukup layak untuk membuktikan proses pembelajaran yang tidak memerdekakan. Apalagi negara tetangga di kawasan Asia Tenggara lainnya seperti Singapura di peringkat 21, Malaysia di peringkat 38, dan Thailand di peringkat 46.
Buruknya pendidikan Indonesia memerlukan upaya yang lebih nyata dalam rangka menyukseskan praktik Merdeka Belajar. Merdeka Belajar dimulai dari memberdayakan siswa dalam proses pembelajaran bersama.
Memberdayakan siswa berarti memberikan kesempatan bagi siswa untuk berkomunikasi, bereksplorasi, dan berkerja sama dalam proses pembelajaran bersama.
Pendidikan Memerdekakan
Pada akhirnya, gagasan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan yang memerdekakan, membebaskan dan memandirikan harus terus digalakkan. Dengan begitu pendidikan mampu mengarahkan siswa berpikir, berperasaan, dan berjasad merdeka serta percaya kemampuan sendiri. Arah pendidikan bernafaskan kebangsaan dan berlanggam kebudayaan.
Ki Hajar Dewantara tidak terlalu fokus dengan urusan kognitif semata. Ia cenderung memikirkan perkembangan pikiran dan kemandirian anak yang berbudaya luhur. Hal senada juga digaungkan YB Mangunwijaya. Baginya, pendidikan Indonesia tidak boleh hanya berfokus pada peningkatan kognitif anak. Akan tetapi perlu untuk mengembangkan modal-modal dasar yang eksporati, kreatif, dan intergral.
Hal ini penting agar anak bisa mekar menjadi sumber sendiri yang hidup dan menghidupi. Karena itu, praksis pembelajaran di sekolah haruslah berlandaskan pada komunikasi dialogis yang menghargai, mengenal, empati, dan berkoaborasi bersama.
Pendidikan bukalah hal yang menakutkan melainkan menjadi tempat yang menggembirakan karena memberikan kesempatan bagi semua pihak untuk belajar bersama dalam suasana kekeluargaan.
- Penulis, Rian Antony, mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta