JAKARTA, SMJogja.com– Putusan Pengadlan Negeri Kelas IA Bandung yang membebankan pembayaran restitusi pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) memunculkan permasalahan baru. Pakar hukum pidana UI, Harkristuti Harkrisnowo menyebut terjadi kerancuan putusan pengadilan dalam kasus ini dengan menggunakan istilah restitusi tetapi pembayarannya dibebankan ke negara.
Meski di sisi lain, dia mengapresiasi vonis tersebut yang berorientasi kepada kepentingan korban. “Namun hal itu jangan sampai melanggar ketentuan yang sudah ada,” katanya saat diskusi media briefing “Restitusi vs Kompensasi bagi Korban Kekerasan Seksual” secara daring, Rabu (23/2).
Hal senada disampaikan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu. Menurut dia, pembebanan restitusi kepada KPPPA kurang tepat karena restitusi merupakan ganti kerugian kepada korban oleh pelaku. Putusan ini mengacu PP Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana. “Dalam PP Nomer 43 Tahun 2017, tidak dikenal pihak ketiga. Dalam kasus ini, negara juga bukan pihak ketiga. Pihak ketiga seharusnya berkontribusi pada tindak pidana itu,” tegas Edwin.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR/Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menilai persoalan dasar pada kasus ini lebih pada sistem birokrasi anggaran yang tidak fleksibel. Ada alternatif lain menggunakan anggaran 999 (BA BUN). “Kalau fleksibel menggunakan anggaran itu pada konteks kedaruratan, masalah ini tidak sulit-sulit amat,” ujarnya.