BANYAK orang memandang negatif ketika menyebut nama Machiavelli. Jika ada politisi atau penguasa yang abai terhadap etika akan dicap sebagai ”machiavellis”. Pujangga yang nama lengkapnya Niccolo Machiavelli ini sudah dilekatkan dengan ajaran kediktatoran.
Lalu, apa benar sedemikian buruk pemikiran Machiavelli tentang kekuasaan? Sebab, jika ditelusuri pemikirannya dalam mengungkapkan tentang Tuhan dan Pujian, stigma negatif sepertinya tidaklah tepat. Dalam karyanya ”Il Principe” banyak ditemukan kata Tuhan dalam konteks kekuasaan. Machiavelli justru seorang pujangga yang mengusung isu-isu kekuasaan dalam perspektif yang positif. Dalam konteks psycho politik masa kini – dimana para penguasa dan politisi akrab dengan pencitraan- Machiavelli mengingatkan agar pujian dan sanjungan hendaknya dihindari.
Dari dua isu Tuhan dan Pujian, terkandung pesan kepada politisi agar mentransendensikan kekuasaan. Pada sisi lain Machiavelli memberikan pesan agar kekuasaan politik tidak mengandalkan pencitraan. Bisa diduga karyanya terinspirasi oleh kondisi yang mengenaskan di tanah kelahirannya Florence, Italia.
Digambarkannya situasi Italia saat itu, ”….. sekarang ini, supaya seorang Italia yang brilian dapat dikenali, maka kondisi Italia harus diperburuk dan bahwa Italia harus dijajah oleh bangsa Yahudi, lebih ditindas oleh bangsa Persia, dan lebih terpecah-pecah daripada bangsa Athena; tanpa kepala, tanpa pemimpin, dan kalah, terpecah-pecah, tercabik-cabik dan tertindas dan bahwa Italia harus mengalami kehancuran dalam segala bidang”.
Gambaran mengenaskan itu melahirkan gagasan pemikiran pentingnya tentang pemerintahan yang kuat dan pemimpin yang berani. Machiavelli menulis ”Tidak ada hal lain yang mereka harapkan selain pemerintahan Anda yang akan menempatkan diri sebagai pemimpin dari penyelamatan ini, dengan kekuatan dan keberuntungan yang agung, dan dengan didukung oleh Tuhan dan Gereja, yang sekarang ini adalah sang pemimpin”. Pernyataan dengan diksi yang sangat kuat agar pemimpin pemerintahan mengambil tindakan religius-spiritual, cerdas dan berani untuk membebaskan Italia dari kungkungan penjajahan.
Dua Energi
Machiavelli mengindikasikan adanya dua energi. Pada satu sisi tindakan pemimpin harus mentransendensikan kekuasaan dan pada sisi lain pemimpin tidak boleh bersikap fatalistik dalam menghadapi kondisi berat yang dialami bangsa Italia kala itu.
Dewasa ini pencitraan dalam ruang publik demikian gencar meskipun kritiknya juga tidak kalah gencar. Sejalan dengan diksi mentransendensikan kekuasaan pencitraan janganlah sampai menjadikan politik sebagaimana dalam idiom bahasa Arab, as-siyaasah al-hud’ah – politik itu (persoalan) tipu daya. Machiavelli menulis pikiran filosofisnya tentang sanjungan, ”Tidak ada cara yang lebih baik dalam melindungi seseorang dari sanjungan-sanjungan daripada dengan membuat orang-orang mengerti bahwa mereka tidak akan menyinggung Anda apabila mereka mengatakan kebenaran kepada Anda, Anda akan kehilangan rasa hormat mereka kepada Anda”.
Kata kunci dari penyakit ”gila hormat” versi Machiavelli ini adalah ada tidaknya kebenaran. Artinya jika seseorang kokoh memegang kebenaran sebagai nilai harga diri yang sejati, maka dia harus menampilkan fakta secara transparan.
Menurut hemat penulis, misi penting Machiavelli dalam perkara ini, ”Seorang pangeran yang bijaksana oleh karenanya akan mengambil tindakan yang ketiga, yaitu dengan memilih orang-orang yang bijaksana sebagai wakil-wakilnya, dan hanya memberikan mereka kebebasan penuh untuk mengatakan kebenaran kepadanya, namun hanya hal-hal yang ditanyakan dan bukan yang lainnya. Akan tetapi sang pangeran harus menyatakan segala dan mendengarkan pendapat mereka”.
Memang ada warna negatif ketika ia mengatakan, ”Oleh karenanya, seorang pangeran harus selalu meminta nasihat, namun hanya ketika dia menghendaki hal tersebut, bukan ketika orang lain ingin memberikan nasihat mereka”.
Pemikiran Niccolo Machiavelli ditulis pada tahun 1513 M. Sangat filosofis dan pengaruhnya hidup sampai sekarang. Wajar Michael Hart memasukkannya dalam daftar 100 tokoh yang paling berpengaruh. Bahkan Hart memberi julukan bukunya dengan ”Buku Pedoman Para Diktator”. Namun pemikiran filosofis Machiavelli tentang Tuhan dan Pujian ”gelar” mentor bagi para diktator kurang tepat.
Dari penggalan dua pemikiran Machiavelli tentang transendensi kekuasaan dan menghindari pencitraan politik penuh tipu daya, sepertinya akan jauh lebih pas jika Machiavelli disebut sebagai tokoh pemikiran politik kekuasaan bermoral daripada sebagai seorang penganjur atau mentor bagi penguasa diktator.
- Penulis, Dr Immawan Wahyudi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
1 comment