JOGJA, SMJogja.com – Wisata sejarah tak pernah ada habisnya di Jogjakarta. Di lingkungan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat terdapat banyak situs bersejarah yang menarik, salah satunya Masjid Sela. Masjid ini merupakan masjid tertua di dalam keraton yang menjadi tempat bersujud Sultan Hamengku Buwono I.
Letaknya berada di dalam njeron beteng, istilah untuk seluruh bangunan yang berada di dalam wilayah beteng keraton. Masjid tak tampak dari jalan raya karena berada di dalam tengah kampung di kompleks pusat gudeg, Wijilan.
Meskipun tidak terlihat dari jalan raya tapi tak sulit menemukannya. Orang-orang di sekitar keraton, pasti tahu keberadaan masjid tersebut. Pasalnya, dulu halaman masjid menjadi tempat bermain anak-anak. Lahan awalnya sangat luas dengan kolam mengelilinginya tetapi sekarang sudah jauh berkurang dan tak tampak lagi kolamnya.
”Karena lama tidak terpakai, kolam malah terisi sampah, kotor. Warga kemudian membersihkannya dan menjadikan tempat ibadah yang layak sampai sekarang,” tutur takmir masjid, Narwi.
Lambat laun masjid berubah menjadi lebih bersih dan tampak muncul keunikan serta keindahan arsitekturnya. Entah sejak kapan warga menyebutnya Masjid Sela, tak ada yang tahu. Mereka menyebut demikian karena atapnya terbuat dari lempengan batu menjulang.
Interior Unik
Interior dalam bangunan masjid sangat unik. Atapnya melengkung menuju satu titik yang sangat presisi. Bangunan utama dan interiornya masih asli belum mengalami renovasi. Berada di dalamnya terasa adem, ayem. Lama tidak terpakai, warga bergotong royong membersihkannya.
Setelah bersih dan nyaman, masjid lambat-laun kembali ramai dan menjadi tempat belajar mengaji khususnya bagi anak-anak. Setiap petang menjelang magrib, mereka berada di sana untuk membaca dan menulis Alquran. Mereka belajar di bangunan kecil mirip kelas yang terletak sebelah selatan masjid.
”Menjelang sore biasanya ada yang datang mengajari anak-anak membaca Alquran. Kegiatan ini sudah lama berlangsung, sejak warga membersihkan dan merapikannya lagi,” imbuh Narwi.
Masjid yang tidak ada bentuk kubahnya tersebut dulu menjadi tempat raja bersujud. Tidak boleh ada yang masuk ke kompleks masjid kecuali raja. Ia bisa berhari-hari tinggal di sana untuk berdoa dan menenangkan diri. Warga setempatnya berdasarkan cerita leluhur, hanya raja pertama Yogyakarta yang sering menyepi dan berdoa di sana.
‘Sebenarnya masih ada satu bangunan lagi di sisi utara masjid, kemungkinan juga bagunan masjid dan lebih besar. Sayangnya sudah rata dan berganti menjadi pemukiman. Hanya ada sedikit sisa tembok di beberapa tempat.