”WALAU sya’a robbuka la aamana man fil ardhi kulluhum jamii’a, afa anta tukrihunnasa hatt yakunu mu’minin (Q.S Yunus:99). Jika Tuhanmu menghendaki, niscaya beriman sekalian orang yang di bumi semuanya. Adakah engkau memaksa manusia, supaya mereka beriman?”
Ayat di atas sangat sering Buya Ahmad Syafii Marif sampaikan dalam banyak forum terkait dengan dakwah dan dinamikanya. Buya dalam meneguhkan aktivis dakwah, para kader, menggarisbawahi ayat itu. Almarhum selalu menekankan teruslah berdakwah, teruslah berproses, berusaha, memperjuangkan dakwah, hasil serahkan pada Allah.
Dalam menyampaikan pesan dakwah, Buya berkomunikasi lintas golongan, lintas iman. Buya akrab dengan komunitas Katolik, Protestan, Budhis dan lain-lain, tanpa sedikitpun merasa imannya kepada Allah tergerus atau berkurang sedikitpun. Bahkan di masa kepemimpinan beliaulah, fikih hubungan antaragama dirilis di bawah komando Prof Amin Abdullah sebagai Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI) PP Muhammadiyah.
Tampak tersirat dalam pesan-pesan di banyak forum, bahwa dakwah mendekatkan, sedangkan politik menjauhkan. Dakwah merangkul, sedangkan politik menjadikan berjarak, kutipan dari buku ”Titik-titik Kisar di Perjalananku” (2010). Membaca buku TTKP karya Buya, meski sudah beberapa kali masih tetap terbawa suasana dan emosi sehingga tidak terasa air mata berderai. Otobiografi itu mengkisahkan perjalanan hidup, perjuangan dan air mata, juga kisah-kisah yang menggembirakannya.
Buya merupakan pribadi yang utuh, holistik, bukan seorang dengan pribadi yang terbelah (split personality), bukan seorang yang pecah kongsi antara kata dan laku. Apa yang ia katakan, sampaikan, sebagai pesan dakwah itulah yang diyakini. Meskipun harus berseberangan dengan banyak orang (againt the mainstream), ia pun tetap kukuh dengan pendiriannya, bak karang di tengah lautan. Memang demikianlah ciri cendekiawan sejati. Cendekiawan adalah mereka yang berumah di angin. Buya menghayati betul prinsip dakwah yang berbunyi ”Lisanul haal afsohu min lisaaanil maqool”, teladan yang baik lebih fasih (menggugah) dari pada sekedar ucapan.
Literasi Dakwah
Dalam banyak acara Buya kerap mengintrodusir buku referensi baru bagi para penggerak dakwah, kala itu belum era medsos, baik referensi warisan Islam maupun buku-buku kontemporer. Tak pelak dalam forum bergengsi Pimpinan Pusat Aisyiah di Hotel Inna Garuda, ia menunjuk buku-buku karya Karen Amstrong (2006) agar dibaca oleh para aktivis Aisyiah. Sontak sebagian audien yang kebanyakan ibu-ibu terkaget-kaget. Buya ingin agar para dai dan daiyah memiliki wawasan yang terbuka (inclusive), spektrum pergaulan yang luas, ”ojo kabotan sungu”.
Saat penulis berkesempatan menjenguk Buya, satu hari sebelum dipanggil keharibaan Allah. Penulis berbagi cerita tentang sebuah dokumen sejarah yang terbit tahun 1939 terkait Keraton Surakarta yang mengelaborasi wacana keislaman yang sangat progresif, lalu ia berkomentar, ”ternyata masih banyak dokumen lama yang belum kita baca.”
Dalam ranah khazanah keislaman, kekaguman Buya atas otoritas keilmuwan Fazlur Rahman, gurunya di Chicago dulu termanifestasi dalam ungkapannya ”give me one third of your knowledge, I will transform Indonesia into Islamic State”. Meski di akhir hayatnya visi itu telah bergeser menjadikan agama sebagai sumber nilai, dan menjadikan Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan satu tarikan nafas. Itulah dakwah humanis yang ia perjuangkan.
Guru Bangsa
Pergumulannya dalam dakwah pencerahan sudah tidak diragukan lagi. Dari Majelis Tabligh Buya berpijak menuju Guru Bangsa. Selain sangat tajam dalam analisis dan kritiknya, ia juga sangat memiliki kekhasan dalam idiolek. Ini bagian dari strategi dakwah, yakni berkomunikasi dengan bahasa kaumnya. Pesan profetik Nabi Muhammad berbunyi ”khootibunnas ala qodri uqulihim”.
Sebegitu keras sikap, kritik Buya terhadap pemerintah atas kondisi bangsa, atau kadang kritik tertuju pada sosok tertentu, namun mereka yang dikritik merasa nyaman, berterima dan tabik, sami’na wa aatho’na. Pasalnya, yang ia sampaikan tulus dari lubuk hati terdalam. Kondisi demikian disebut sebagai kuasa lisan, meminjam istilah Isa Anshori (1970).
Para aktivis dakwah harus melek sejarah (literate). Sejarah harus menjadi pelayan kehidupan, demikian Buya menyebutnya. Inspirasi hal itu adalah pemikiran Friedrich Nietzsche (1844-1900) yang dikutip oleh Buya alam suatu seminar. Sejarah merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita, ia adalah cermin kita, seyogyanya ia menjadi pelajaran bagi kita, sejarah sebagai pelayan kehidupan. Lebih mendalam Ibnu Khaldun (1332-1406) dalam Muqoddimah-nya menekankan agar sejarah dipelajari secara cerdas dan kritikal (Nadzor). Malik Bennabi menegaskan, bagi yang tidak memahami sejarah, bagi mereka hanya satu yakni tidak memahami realitas, termasuk realitas dakwah dan realitas umat. Selamat Jalan Buya, kami akan teruskan perjuanganmu.
- Penulis, Hendra Darmawan MA, Ketua Majelis Tabligh PWM DIY, Anggota MUI DIY, Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
1 comment