PRASOJO GOTONG ROYONG MEMBANGUN SLEMAN DENGAN KESEDERHANAAN
Rijksblad Nomor 11 Tahun 1916 menjadi tonggak lahirnya Kabupaten Sleman. Penetapan Sleman sebagai sebuah kabupaten melalui rangkaian sejarah yang Panjang dengan bukti dan fakta sejarah berupa benda-benda cagar budaya. Salah satunya Prasasti Salimar yang ditemukan di Padukuhan Demangan, Kalurahan Caturtunggal, Kapanewon Depok, Kabupaten Sleman, D.I.Yogyakarta.
SLEMAN sebagai sebuah nama pada hakikatnya sudah dikenal sejak zaman Mataram Kuno sekitar abad V Masehi, atau sebelum masuk kerajaan Islam, yakni wilayah dengan sebutan Saliman, yang kemudian berubah menjadi Sleman.
Munculnya Sleman sebagai kabupaten ditetapkan dalam Rijksblad Nomor 11 Tahun 1916 yang diterbitkan pada tanggal 15 Mei 1916, di mana wilayah Kasultanan Yogyakarta (Mataram) dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Kalasan, Bantul, dan Sleman. “Saat itulah nama Sleman muncul lagi,” jelas Ketua Panitia Hari Jadi ke-106 Kabupaten Sleman Aji Wulantara.
Menukil hipotesa Purbatjaraka, lanjut Aji, nama Sleman berasal dari penyebutan sebuah hutan Kunjarakenya (desa) yang berarti daerah hutan gajah. Dalam bahasa Jawa disebut alas ing liman. Kemudian dari alas ing liman tersebut berubah menjadi Saliman dan akhirnya menjadi Sleman. Teori ini sesuai dengan isi Prasasti Salimar IV yang juga ditemukan di Demangan. Isinya tentang penetapan perdikan hutan Saliman pada Tahun Saka 802 (880 M) oleh pejabat yang bernama Sang Pangat Bolokas.
Aji mengungkapkan, hari jadi Kabupaten Sleman pada 15 Mei 1916 ditetapkan melalui perjalanan panjang penuh liku. Hingga akhirnya ditetapkan berdasarkan Rijksblad Nomor 11 Tahun 1916 tersebut, yang tertanggal 15 Mei 1916. Selanjutnya dikukuhkan dalam Peraturan Daerah Sleman Nomor 12 Tahun 1998 pada 9 Oktober 1998.
Pusat pemerintahan Kabupaten Sleman sering berpindah-pindah – nomaden – seiring situasi zaman penjajahan. Tahun 1945, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Pringgodiningrat menjadi bupati pertama Sleman. Kala itu, pusat pemerintahan Sleman berada di Sleman Utara (saat ini Kalurahan Triharjo, Sleman), tepatnya di gedung yang saat ini difungsikan sebagai Puskesmas Sleman.
Pringgodiningrat digantikan oleh KRT Pradjadiningrat pada 1947. Akibat agresi militer Belanda kedua saat itu, Pradjadiningrat memindahkan pusat pemerintahan Sleman ke Pesanggrahan Ambarrukmo di Caturtunggal, Depok.
Selanjutnya pada 1964 bupati ke-6 Sleman, KRT Murdodiningrat, memindahkan pusat pemerintahan dari Ambarrukmo ke area bekas kompleks pabrik gula di Dusun Beran, Tridadi, Sleman. Gedung utama pemerintahan saat itu terletak di utara Lapangan Pemda Sleman, yang saat ini difungsikan sebagai kantor Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kalurahan, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, serta Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
“Pada masa pemerintahan KRT Murdodiningrat inilah Kabupaten Sleman memiliki lambang daerah yang dipakai sampai sekarang,” ungkap Aji.
Lambang daerah menjadi simbol penyemangat pemerintah dalam pembangunan. Bentuk segi empat, misalnya, dimaknai sebagai kesederhanaan. Lalu warna dasar biru muda wujud cita-cita. Kemudian ada warna hijau kemakmuran. Putih kesucian. Merah keberanian. Hitam keabadian. Kuning keluhuran, dan kuning keemasan dimaknai sebagai kejayaan.
“Warna-warna itu melambangkan sikap pemerintah untuk membangun Sleman yang berkelanjutan secara gotong royong dengan semangat kesederhanaan. Seperti logo hari jadi ke-106 Kabupaten Sleman itu juga diambil dari warna-warna lambang daerah,” papar Aji.
Belakangan, pada 15 Mei 1999 Kabupaten Sleman juga mendapat pusaka dari Sri Sultan Hamengku Buwono X berupa Tumbak Kyai Turun Sih berpamor beras wutah. Pusaka itu bermakna cinta kasih pemerintah terhadap rakyatnya serta upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan kekayaan alam (lumbung padi) yang dimiliki.
Kesimpulannya, lanjut Aji, roda pemerintahan Sleman harus dijalankan secara prasojo, sederhana, gotong rotong, welas asih, menjaga kekayaan alam, dan watak pantang menyerah menghadapi kesulitan.
“Itu semua menjadi fondasi bagi pemerintah Kabupaten Sleman yang harus dipegang teguh. Sebagaimana tema hari jadi ke-106 tahun ini, ‘Sesarangen Mbangun Sleman, Sleman Gumregah’” tegasnya.
Kabupaten Sleman pertama kali mendapatkan anugerah tanda kehormatan atas hasil karya tertinggi dalam pembangunan pada masa kepemimpinan Bupati Drs. H. Sujoto Prodjosujoto tahun 1979, yaitu Parasamya Purna Karya Nugraha.
Drs. H. Sujoto Prodjosujoto lantas membangun gedung pemerintahan di sisi barat Lapangan Pemda dan Jalan Parasamya. Gedung yang saat ini menjadi kantor Bappeda Sleman itu ditempati pertama kali oleh Drs. H. Samirin selaku bupati pengganti Drs. H. Sujoto Prodjosujoto. Drs. H. Samirin lantas melengkapi infrastruktur pemerintahan Kabupaten Sleman dengan membangun gedung DPRD. Lokasinya persis di gedung baru DPRD sekarang.
Selanjutnya, Drs. H. Arifin Ilyas menggantikan Drs. H. Samirin pada 11 Agustus 1990. Pria asal Bangka itu membangun pendapa agung kabupaten dan perkantoran (termasuk kantor bupati) yang masih difungsikan sampai sekarang. Lokasinya persis berhadapan dengan gedung DPRD Sleman.
Drs. H. Arifin Ilyas menempati kantor baru tersebut sejak Agustus 1994. Dilanjutkan berturut-turut oleh Drs. H. Ibnu Subiyanto, A.Kt, Drs. H. Sri Purnomo, M.Si., sampai Dra. Hj. Kustini Sri Purnomo.
Pada masa Drs. H. Sri Purnomo dibangun kantor baru bupati yang saat ini dikenal dengan sebutan Gedung Kaca, persis di sisi utara pendapa kabupaten, dan pembangunan gedung baru DPRD Sleman. Gedung Kaca dan gedung baru DPRD Sleman diresmikan oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Hamengku Buwono X pada 21 Desember 2021.
Sejak saat itu hingga sekarang Bupati Dra. Hj. Kustini Sri Purnomo berkantor di Gedung Kaca, berikut sekretaris daerah dan para asisten sekretaris daerah Kabupaten Sleman.