Menilik Efektivitas Sekolah Penggerak

Penulis: Endang Retno Widiarti (Universitas Sebelas Maret)

POJOK MUDA, smjogja.com – Pendidikan di Indonesia belum terlaksana dengan maksimal. Ketidakmerataan fasilitas di berbagai wilayah Indonesia membuat terhambatnya proses pendidikan Indonesia. Berdasarkan tujuan negara Indonesia di dalam UUD 1945 “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Maka Kemendikbud ristek mengupayakan berbagai program agar pendidikan di Indonesia dapat merata.

Visi pendidikan Indonesia yaitu mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, bergotong-royong, dan berkebhinekaan global.

Sekolah Penggerak, kata yang asing di telinga sebagian masyarakat Indonesia. Sekolah penggerak adalah sebuah rancangan kurikulum baru yang dipersiapkan untuk mempermudah guru di dalam menyampaikan materi belajar. Sekolah Penggerak mengkonversi LKS, RPP dan sistem penilaian ke dalam suatu modul, dengan menambahkan profil karakter Pelajar Pancasila. Kurikulum sekolah penggerak menjadikan modul ajar sebagai acuan dasar bagi guru dan siswa dalam melakukan pembelajaran.

Sekolah penggerak ialah program yang ditetapkan oleh Kemendikbud Ristek, Bapak Nadiem Makarim. Program dari sekolah penggerak seperti kolaborasi antara Kemendikbud dengan pemerintah daerah diikuti PAUD, SD, SMP, SMA, dan SLB. Program sekolah penggerak berada dalam 2 tahap yang lebih maju, berjangka waktu 3 tahun.

Read More

Praktiknya, kurikulum sekolah penggerak banyak mendapatkan kritik dari ahli pendidikan. Banyak orang tua siswa menyatakan bahwa program sekolah penggerak tidak efektif, sekolah penggerak menuntut guru dan siswa untuk menguasai berbagai lingkup teknologi di masa pandemi.

Apalagi bagi guru yang lansia menjadi halangan untuk menguasai IPTEK yang luas. Kurangnya sosialisasi dan memanfaatkan teknologi secara menyeluruh sehingga menyulitkan guru selama di masa pandemi. Maka konteks yang dianggap “memudahkan” justru menyulitkan bagi sebagian kalangan. Profil Pancasila yang diusung dalam modul ajar belum mampu mengangkat tingkat afektif siswa.

Sebagian besar siswa menyatakan bahwa PJJ dengan substansi sekolah penggerak tidak memberi dampak signifikan baginya. Program Sekolah Penggerak dinilai hanya menjangkau sekolah yang sudah baik. Kendala dalam implementasi Program Sekolah Penggerak ialah kurangnya pemahaman kepala sekolah dan guru terhadap kurikulum sekolah penggerak.

Sekolah yang sudah melakukan penyusunan Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan dengan melibatkan komite sekolah, masing-masing sekolah mendapatkan informasi yang berbeda tentang project penguatan profil pelajar Pancasila, kemudian daya dukung pemerintah belum sepenuhnya dipahami. Kondisi ini diperlemah dengan kurangnya keterlibatan orang tua siswa.

Dalam penyusunan kurikulum, kepala sekolah sudah melibatkan orang tua dan stakeholder, namun orang tua lebih mempercayakan penyusunan KOSP ke sekolah karena kondisi ekonomi di daerah masyarakatnya menengah ke bawah. Mekanisme pelaksanaan program sekolah penggerak akan memunculkan kasta-kasta.

Pembelajaran dan kurikulum di Sekolah Penggerak berbeda dari sekolah umumnya. Banyak guru belum memahami inti dari kurikulum baru karena pelatihan dalam waktu singkat. Jika mekanisme perekrutan PSP sifatnya inisiatif mandiri sekolah, maka akan memenuhi target sasaran 2.500 sekolah PSP adalah sekolah dan guru yang sudah baik, akses digitalnya bagus, dan menguasai pembelajaran digital. Alhasil sekolah-sekolah pinggiran, kualitas rendah semakin terpinggirkan oleh PSP.

Selain itu, masih banyak materi ajar pada kurikulum baru belum tersedia. Sementara guru sudah mengajarkan mapel tersebut di kelas. Pada kurikulum baru istilah RPP diganti menjadi modul ajar. Para guru juga diwajibkan mengisi modul tersebut yang jumlahnya sampai berpuluh-puluh halaman. Kurikulum baru diterapkan secara terbatas di Sekolah Penggerak mulai tahun ini. Sementara penerapan di sekolah umum wacananya baru diterapkan pada 2022.

Dari berbagai permasalahan tersebut, maka kemendikbud perlu mengevaluasi kinerja dan implementasi kurikulum sekolah penggerak ini. Niat pemerintah sudah baik. Namun, prakteknya masih kurang tepat untuk dilaksanakan karena masih pandemi Covid-19. Apalagi, pelatihan terhadap guru dilaksanakan terlalu singkat dan dekat dengan dimulainya tahun ajaran baru.

Penerapan kurikulum baru membutuhkan waktu agar hasilnya ideal sesuai yang diharapkan. Hal yang diperhatikan adalah konsepnya harus matang, memerlukan pelatihan guru merata terhadap semua guru. Kemendikbud juga dapat merancang pendidikan yang bermakna untuk menyelamatkan siswa agar tidak terjadi learning lost dengan mengoptimalkan teknologi informasi dan berkolaborasi dengan orang tua, keluarga, dan swasta. Hendaknya tiga program Kemendikbud yakni PSP, POP dan PGP harus berkaitan. Seharusnya untuk dua sampai tiga tahun fokus dulu membenahi sekolah yang masih buruk seperti akreditasi C dan belum terakreditasi, hasil UKG guru rendah, dan belum banyak tersentuh oleh kebijakan pemerintah.

Related posts

Leave a Reply