Menulis Biografi Keumalahayati Oleh Muhammad Gufron

smj/dok

POJOK MUDA, smjogja.com – Salah satu tokoh pahlawan perempuan dari tanah Aceh, yakni Keumalahayati. Secara pribadi saya mengenal tokoh ini setelah membaca buku anak fiksi sejarah berjudul “Sudrun dan Buku Terbang” karya Alfiandana yang baru saja diterbitkan oleh Penerbit Gorga pada awal Februari kemarin. Sepertinya namanya tidak setenar Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia yang juga sebagai Pahlawan Revolusi Kemerdekaan dari Serambi Mekkah.

Biografi Laksamana Malahayati

Malahayati lahir di Aceh Besar pada 1550, terlahir dari keturunan pendiri kerajaan Aceh Darussalam. Perempuan yang hidup di abad ke-16 dari Laksamana Mahmud Syah, cucu dari Sultan Salahuddin Syah, dan cicit dari pendiri kerajaan Aceh Darussalam yaitu Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah.

Jiwa kelautan Malahayati diturunkan dari sang kakek dan ayahnya yang juga sebagai Panglima Angkatan Laut di Kesultanan Aceh. Kemudian memperdalam ilmu kelautan di Akademi Ma’had Baitul Maqdis.

Ma’had Baitul Maqdis merupakan akademi militer sebagai pusat pendidikan dari tentara Kesultanan Aceh. Akademi ini dirikan pada masa Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil, dengan instrukturnya yang sebagian berasal dari Imperium Ottoman. Akademi ini terdiri dari dua jurusan yaitu Angkatan Darat dan Angkatan Laut.

Read More

Di masa menyelesaikan pendidikannya, Malahayati bertemu dengan seorang laki-laki yang kemudian menjadi suaminya, yakni Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latif, panglima protokol Kesultanan Aceh.

Memimpin Armada Janda

Sepak terjang Malahayati dimulai setelah tentara Kesultanan Aceh yang dipimpin oleh suaminya sukses memporak-porandakan armada laut Portugis di “Teluk Haru”. Dari kejadian itu, sekitar seribu tentara Aceh gugur dan salah satunya adalah suami Malahayati.

Kepergian sang suami tentu saja membuat Malahayati sedih dan marah kepada penjajah. Malahayati meminta izin kepada Sultan Saidil Mukammil Alaudin Riayat Syah, Sultan Aceh kala itu, untuk membentuk pasukan armada laut.

Setelah permintaan tersebut mendapat izin dari Sultan, Malahayati dipercaya menjadi Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol. Malahayati membentuk dan memimpin “Armada Janda” yang terdiri dari para perempuan dari tentara Kesultanan Aceh yang telah gugur. Pasukan ini juga dikenal dengan inong bale yang berjumlah 2.000 pasukan dan seiring waktu jumlah pasukan semakin banyak.

Napak tilas dari Inong Balee sendiri dibuktikan dengan adanya benteng yang pernah dibuat dengan setinggi 100 meter diatas permukaan laut, benteng ini berada di Desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya. Selain itu, mereka memiliki pangkalan militer di Teluk Lamreh Krueng Jaya.

Sejarah mencatat sepak terjang Malahayati bersama pasukannya. Pada 1599 Cornelis de Houtman dan Frederik de Houtman memasuki pelabuhan Aceh dan disambut baik oleh Sultan Aceh. Seiring waktu, keduanya banyak tingkah. Seperti memanipulasi perdagangan dan menghasut rakyat untuk menjadi pemberontak kerajaan. Tentu saja membuat marah sang Sultan, Malahayati pun mendapat perintah untuk membinasakan mereka.
Bersama pasukan Inong Balee, mereka mendatangi kapal de Houtman dan melawan serdadu Belanda.

Pertempuran ini Panglima Malahayati berhasil membinasakan Cornelis de Houtman menggunakan senjata rencong dan Frederick de Houtman dibawa pulang sebagai tawanan.

Pada 31 Juni 1601, mendengar kedatangan rombongan kapal Belanda, Panglima Inong Balee memerintahkan untuk menghadangnya dan ternyata rombongan yang dipimpin oleh Jacob van Neck bermaksud menyerahkan surat permohonan maaf dari Pangeran Prins Maurits, tokoh pencetus pembentukan VOC (Vereenigde Oost Indische-Compagnie), yang ditujukan untuk Sultan Saidil Mukammil.

Akhirnya pada 23 Agustus 1601, Kesultanan Aceh diwakili Malahayati yang ditunjuk Sultan sebagai diplomat resmi melakukan perundingan dengan Laksamana Laurens Bicker bersama Komisari Gerard de Roy dari Kerajaan Belanda. Berkat kecerdikan diplomasi Malahayati, disepakatilah empat butir perjanjian yaitu:

  1. Kesultanan Aceh dan Kerajaan Belanda berdamai.
  2. Membebaskan Frederick de Houtman dari penjara.
  3. Belanda harus membayar kerugian sebesar 50 ribu Gulden
  4. Sultan Aceh mengirim tiga orang utusan sebagai balasan atas niat baik dari Belanda.

Juni 1602, armada dagang East Indian Company (EIC) dari Inggris yang dipimpin Sir James Lancaster datang ke Aceh menyerahkan surat kerjasama dari Ratu Elizabeth I, Sultan pun mempercayakan Malahayati untuk memimpin perundingan.

Laksamana Malahayati meninggal pada 1615, peristirahatannya terletak di Desa Lamreh, Kecamatan Krueng Raya, Aceh Besar. Gelar pahlawan nasionalnya ditetapkan oleh Presiden pada 6 November 2017.

Dari sekilas historis di atas, membuktikan bahwa praktik emansipasi wanita telah terjadi jauh sebelum R.A Kartini hadir, Keumalahayati sendiri telah mempraktekannya dan tidak hanya dari segi teori namun langsung secara Tindakan.

Walaupun, nama Keumalahayati sendiri masih menjadi perdebatan karena minim data sejarah. Sebelum menjadi subjek penelitian sejarah, kisahnya telah tercatat dalam karya sastra buah karya Marie van Zeggelen (1870-1975) berjudul “Oude Glorie” (Kemuliaan Masa Lalu). Selain itu, Endang Moerdopo juga mengabadikan dalam fiksi sejarah yang terbit pada 2008 berjudul “Perempuan Keumala”.

Setidaknya dari kisah ini, membuktikan bahwa karakter dari Malahayati yang memiliki jiwa kepemimpinan, nasionalisme, perempuan yang berani, cerdas sudah seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua.

Mengingat, karakter bukanlah sesuatu yang dapat diwariskan dan setiap individu bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Sehingga diperlukannya pembentukan secara sadar melalui proses.

Membaca biografi Keumalahayati menunjukkan bahwa karakternya terbentuk seiring berjalannya waktu dan dipengaruhi oleh pelbagai faktor disekitarnya.

Referensi : Saifullah. 2012. Laksamana Keumalahayati. Banda Aceh. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.

Related posts

Leave a Reply