KEBIJAKAN keagamaan zaman Orde Baru (Orba) sangat mengedepankan isu kerukunan antar umat beragama. Hampir setiap pidato pejabat selalu menyinggung pentingnya dan manfaatnya kerukunan antar umat beragama. Apalagi dalam penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di semua level, isu kerukunan antar umat beragama menjadi menu wajib. Singkat kata produk dari penataran diharapkan melahirkan pribadi-pribadi yang berorientasi kepada kehidupan yang penuh dengan semangat kerukunan, kebersamaan, dan persatuan.
Dewasa ini Pemerintah juga sedang giat-giatnya mengkampanyekan Program Moderasi Beragama. Dari segi istilah, isu ini terasa agak sedikit lebih rumit dibandingkan dengan istilah zaman Orba, kerukunan. Tampak simpel dan mudah. Pemerintah tentu punya konsep dan kehendak tersendiri tentang istilah tersebut.
Konsep moderasi beragama dapat terlihat dari pidato Menteri Agama di hadapan Peserta Lemahanas (Kamis, 18/3-2022 – lemhanas.go.id/imdex) ”…moderasi beragama menjadi sangat penting karena kecenderungan pengamalan ajaran agama yang berlebihan atau melampaui batas seringkali menyisakan klaim kebenaran secara sepihak dan menganggap dirinya paling benar dan yang lain salah”.
Tidak lupa Menteri Agama juga mengingatkan peserta Lemhanas dengan realita geografis-sosiologis Indonesia adalah negara dengan keragaman etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama.
Warisan Lama
Isu kerukunan beragama sesungguhnya bukan isu kekinian saja. Pada zaman Imam al-Ghazali pun sudah menjadi isu besar dan penting sehingga beliau menulis buku Faishal at Tafriqah Bainal Islam wa az-Zandaqah (Garis Pemisah antara Prinsip-Prinsip Islam dan Prinsip-Prinsip Zindiq, di luar Islam). Buku ini merupakan jawaban Imam al-Ghazali dalam usahanya menjawab tantangan berupa keadaan yang penuh dengan fanatisme yang membahayakan.
Umat Islam pada saat itu telah saling mengkafirkan, tuduh-menuduh sesat dan saling menyalahkan. Bahkan Imam al-Ghazali juga terlibat perselsihan sengit dengan Imam Ibnu Rusyd yang melahirkan karya monumental Tahafut al-Falasifah (Imam al-Ghazali) dan Tahafut at-Tahafut (Imam Ibnu Rusyd). Dalam kasus ini tentu ada dimensi positifnya yakni membela pendapat dengan berfikir dan menulis kitab.
Bukan hanya pada zaman Imam al-Ghazali umat manusia mengalami silang sengkarut kehidupan beragama. Zaman awal Islam, perbedaan keberagamaan bahkan bertransformasi menjadi konflik dan perang secara fisik. Sejarah manusia telah mencatat bagaimana konflik-knflik itu bermula dan bagaimana pula berakhirnya. Tentu tidak ada yang dapat diharapkan dari konflik apalagi perang kecuali penderitaan dan kehancuran.
Imamal-Ghazali (dalam Konsep Negara Bermoral menurut Imam al-Ghazali karya KH Zainal Abidin) menyebut beberapa hal-hal yang harus diwaspadai untuk dihindari sekaligus sebagai ajakan untuk mengakhiri pendirian bahwa pendirian kelompoknyalah yang benar dan yang tidak sejalan dengan kelompoknya semuanya salah.
Dengan tegas al-Ghazali memerinci sikapnya ”Siapa yang menuduh kafir segala pendirian yang bertentangan dengan fahamnya, baik mazhab Asy’ari, Mu’tazilah, Hanbali atau mazhab lainnya, maka dia adalah seorang bodoh yang sempit akal”.
Jauhkan Egosentris
Hal terpenting dalam kondisi sekarang, semua pihak bisa bersama-sama menghindari dan menjauhkan egosenterisme yang berujung pada perpecahan dan kekacauan. Imam Ali bin Abi Thalib pada masa menjabat sebagai Khalifah mengakhiri khotbahnya membaca ayat 90 surat an-Nahli yang artinya ”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Secara moral politik bangsa Indonesia tidak perlu menghawatirkan isu perbedaan yang berujung pada perpecahan jika semangat kehidupan berpancasila dapat terwujud. Nilai-nilai Pancasila tidak bertentangan dengan agama. Namun dalam perspektif politik praktis – apalagi jika ditambah dengan pragmatis – isu perbedaan dapat mengarah pada perpecahan.
Semangat moderasi beragama program Pemerintah saat ini tidak boleh kalah dengan program kerukunan antara umat beragama (yang diperluas menjadi kerukunan nasional) zaman Orba. Artinya momentum-momentum penting hendaklah negara hadir dengan sigap dan memberi arah yang konkret bagaimana warga negara harus menyelesaikan perbedaan dan konflik.
Hal yang diharapkan dari Program Moderasi Beragama adalah kehadirannya sebagai program formal Pemerintah yang bisa menjadi inspirasi dan solusi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian dapat menuju negara sebagaimana yang dicita-citakan dalam Pembukaan UUD 1945.
- Penulis, Dr Immawan Wahyudi, alumni S3 FH UII, Dosen FH Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
2 comments