”BAHKAN orang yang jahat menggunakan cara baik”, lalu bagaimana kalau orang baik menggunakan cara kurang baik. Barangkali terlalu berlebihan jika ungkapan tersebut ditujukan pada lomba musikalisasi puisi yang akhir-akhir ini kurang tepat. Akan tetapi membiarkan kesalahan terus bergulir membuat kesalahan menjadi ”kebenaran”.
Beberapa tahun terakhir lomba musikalisasi puisi masif berlangsung. Komunitas, instansi pemerintah, sekolah atau perguruan tinggi menyelenggarakannya. Salah satu tujuan, bagian dari upaya memperkenalkan puisi ke khalayak umum khususnya pelajar, agar lebih mudah dinikmati dan lebih dekat.
Alih wahana puisi ke dalam bentuk musikalisasi puisi tidak hanya memberikan alternatif dalam dunia musik tapi juga membuat puisi sekaligus penyair lebih dikenal. Tapi apa jadinya jika salah satu syarat lomba musikalisasi puisi adalah puisi ditulis sendiri?
Selintas, kita akan mendapatkan persepsi agar pelaku musikalisasi puisi juga menulis puisi dan tentunya akan membaca puisi. Tapi pertanyaan selanjutnya, lalu apa bedanya musikalisasi puisi dengan lagu kebanyakan atau apa bedanya lirik lagu dan puisi jika puisi ditulis dan berkompromi dengan musik, dalam hal ini proses penciptaan musikalisasi puisi.
Sangat Berbeda
Kita tahu penciptaan musikalisasi puisi sangat berbeda dengan penciptaan lagu kebanyakan. Jika lagu, bisa diciptakan dengan membuat nadanya dulu. Setelah itu membuat lirik dan nadanya secara bersamaan atau membuat liriknya terlebih dahulu baru membuat nada, tentunya dengan editing kata atau frase.
Hal itu sangat berbeda dengan penciptaan musikalisasi puisi. Dasar musikalisasi puisi adalah puisi, itu artinya puisi lahir terlebih dahulu sebagai karya yang utuh, berdiri sendiri, maka dalam penciptaannya (musikalisasi puisi) pelaku tidak diperkenankan menghilangkan kata apalagi menambahkan kata dalam puisi.
Karena puisi lahir lebih dahulu, musik hanya memberikan sentuhan pada puisi yang sudah dipilih. Dalam proses inilah, musik harus mengikuti interpretasi puisi. Contoh kecilnya, musik menyesuaikan pemotongan kalimat atau frase agar tetap terjaga makna puisi yang sudah dipatenkan oleh penyairnya.
Meskipun puisi memiliki sifat interpretasi ganda, pembuat nada musikalisasi puisi tetap pada jalur yang tepat. Terlebih interpretasi adalah penilaian yang paling penting dalam lomba musikalisasi puisi.
Interpretasi tentu mengacu pada puisi yang ditulis penyair. Tentu tidak mudah karena kita berhadapan dengan teks yang mungkin saja ditulis puluhan tahun yang lalu. Ini yang membuat puisi sangat istimewa dari karya sastra lainnya.
Harus Tahu
Penulis sepakat dengan pernyataan ”semua orang bisa menulis puisi tapi tidak semua orang bisa jadi penyair”. Banyak yang harus ditempuh untuk menjadi penyair. Sekadar menyebutkan beberapa, paling tidak memiliki buku kumpulan puisi, aktif menulis di berbagai media dan lainnya. Kepenyairan disematkan oleh orang lain bukan si penulisnya.
Puisi adalah karya yang paling padat dibanding karya sastra lainnya seperti cerpen dan novel. Meskipun begitu tidak semerta-merta puisi ditulis sekali jadi – meskipun ada yang seperti itu – kebanyakan penulis puisi membutuhkan waktu yang tidak sebentar, bankan bisa berbulan-bulan.
Belum lagi proses editing yang lebih menyita waktu, kata dipilih melalui renungan untuk menentukan kata yang tepat sesuai harapan penulisnya. Jika puisi ditulis oleh orang yang tidak pernah menulis puisi apakah itu sudah cukup dikatakan puisi? Lalu apa bedanya dengan lirik lagu? Apakah itu bisa dikatakan musikalisasi puisi?
Lomba akan melahirkan ruang kreatif, membentuk karakter dan menciptakan kompetisi yang membuat masyarakat akan mengasah kemampuannya, termasuk lomba musikalisasi puisi. Akan sangat disayangkan jika perlombaan yang diselenggarakan tidak memperhatikan pemahaman tentang apa yang diselenggarakan dan cenderung hanya menggugurkan kewajiban.
Pada kasus lomba musikalisasi puisi, penulis sering menemui ketidakjelasan dari penyelenggara, bahkan ketika ditanya tidak jarang mereka bingung menjawabnya.
Lepas dari rutinitas program yang bersifat template – yang menjadi tuntutan harus ada dalam instansi – sangat penting penyelenggara mengetahui apa yang mereka jalankan. Jika ada yang bersifat khusus dalam syarat penyelenggara, panitia akan lebih leluasa menjelaskan kepada calon peserta.
Jangan sampai ketika ditanya jawabannya tidak tahu atau menjawab dengan jawaban yang menimbulkan kebingungan baru. Tidak sedikit peserta kalah sebelum presentasi karya karena sudah salah konsep.
Yang ditakutkan, kita mencetak naluri juara dengan konsep yang salah. Sangat disayangkan, jika mereka bangga menjadi pemenang dengan konsep yang salah lantaran panitia tidak memiliki perhatian pada pemahaman yang diselenggarakan.
- Sule Subaweh, bekerja di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan Pembina Komunitas Jejak Imaji, pengamat dan pelaku musikalisasi puisi.