YOGYAKARTA, SMJogja.com – Realisasi pembayaran restitusi atau ganti rugi bagi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) masih jauh lebih rendah dari putusan hakim. Berdasar data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sepanjang tahun 2021, angka restitusi yang dikabulkan oleh majelis hakim mencapai Rp 3,2 miliar.
Namun dari putusan itu hanya Rp 230 juta yang dibayarkan oleh pelaku. Hal ini dikarenakan pelaku lebih memilih menjalankan pidana kurungan pengganti dibandingkan membayar ganti rugi.
“Kita masih ada PR bagaimana meningkatkan eksekusi dari restitusi. Hal itu akan menjadi salah satu poin pembahasan dalam lokakarya nanti,” kata Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo disela kegiatan pelatihan singkat Pengadilan Sensitif Korban di Yogyakarta, Selasa (2/8)
Salah satu gagasan yang akan dibahas adalah usulan melibatkan negara dalam pembayaran restitusi melalui dana bantuan korban. Konsepnya, terlebih dulu aset pelaku disita kemudian dilelang. Jika harta tersebut tidak mencukupi barulah negara membantu pembayarannya.
Menurut Antonius, ketentuan negara membayar restitusi yang merupakan kewajiban pelaku sudah ada panduannya dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). “Dalam konteks restitusi, aturan itu bisa diimplementasikan untuk TPPO. Sebab di undang-undang disebutkan bahwa perdagangan orang yang tujuannya eksploitasi seksual dan ekonomi teemasuk dalam tindak pidana kekerasan seksual,” urainya.
Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengungkapkan, eksekusi restitusi sering terkendala lantaran pelaku menyatakan tidak sanggup bahkan tidak mau membayar. Kemudian, ada hukuman pengganti dalam bentuk subsider.
Di dalam UU TPKS, restitusi bukan lagi sekedar hukuman tambahan melainkan sudah menjadi bagian dari vonis. Menurut dia, pada kasus TPPO semestinya diterapkan kebijakan yang sama. Namun begitu, dia mengingatkan bahwa kebutuhan korban tidak hanya menyangkut restitusi tapi juga aspek lain, semisal pemulihan psikis dan medis.
Pengadilan sensitif korban adalah bagian dari upaya pemenuhan kebutuhan itu. Implementasi langkah ini didorong di semua level penegak hukum dan pendamping. Contohnya dengan menghindari re-victimisasi lewat pengajuan pertanyaan yang memojokkan korban.
Hakim Agung Mahkamah Agung RI Jupriyadi menambahkan, pengadilan sensitif korban sudah diterapkan sejak lama. “Sewaktu saya menjadi hakim di PN Sleman tahun 2000-an, paradigma itu telah dikembangkan. Intinya jika mengadili perkara yang berkaitan dengan kasus kekerasan seksual atau melibatkan anak dan perempuan, jangan sampai menambah derita saksi korban,” tandasnya.
Karena itu, hakim pun ekstra hati-hati saat menangani perkara. Konsep pengadilan sensitif korban juga didukung regulasi yang terus berkembang tiap tahun. Diantaranya Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pemberian Restitusi kepada Korban Tindak Pidana, dan Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum.