JOGJA, SMJogja.com – Pemekaran Papua dengan tambahan tidak provinsi, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan harus bisa memberi akses lebih luas ke masyarakat lokal. Pemekaran tersebut tidak bisa elitis dan memberi jaminan tidak terjadi lagi pelanggaran HAM.
Hal itu terungkap dalam diskusi Gugus Tugas Papua UGM, Papua Strategic Policy Forum (PSPF) ke-12 dengan tema ”Pemekaran sebagai Resolusi Konflik?”. Diskusi merespons isu terkait pengesahan tiga RUU tentang pembentukan Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan.
Ketua Gugus Tugas Papua UGM, Dr Gabriel Lele mengatakan, GTP berupaya menekankan transformasi konflik sebagai kerangka pemekaran Papua. Menurutnya, hal tersebut harus diterjemahkan dalam berbagai aspek kultural maupun struktural. Negara wajib memberikan intervensi secara holistik.
”Kami memberikan perhatian khusus pada aspek-aspek mikro seperti relasi orang asli Papua (OAP) dengan migran, hak ulayat, perekonomian yang berpihak pada OAP serta inklusivitas politik dan birokrasi. Ini bakal mampu memberikan warna dalam proses transformasi konflik,” ungkap Gabriel.
Ia menyayangkan UU yang telah disahkan DPR beberapa waktu lalu jauh dari semangat tersebut. Meski begitu, pemekaran merupakan kompromi terbaik yang dapat diambil pemerintah.
Papua Damai
Deputi Bidang Politik dan Pemerintahan Jaringan Damai Papua (JDP) Pares L Wenda menyampaikan sejumlah catatan tentang pemekaran. Misalnya, JDP berharap pemekaran dapat menyejahterakan OAP dan tidak elitis.
Ia menekankan pemekaran harus dapat memberikan garansi agar pelanggaran HAM dan marjinalisasi OAP tidak terjadi lagi. Pembangunan paska pemekaran perlu menyentuh OAP hingga akar rumput. Pemekaran harus memastikan OAP mendapatkan akses yang luas dalam pemerintahan, politik, ekonomi, dan sosial budaya.
”Pemekaran juga harus menjamin tidak ada eksploitasi sumber daya alam yang massif dan tidak melanggar hak ulayat masyarakat,” tandasnya.
Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan DPOP Kementerian Dalam Negeri, Valentinus Sudarjanto Sumito mengatakan pemekaran tiga provinsi baru di Tanah Papua merupakan aspirasi dari masyarakat dan juga elit Papua. Pemerintah telah menyusun peta pelaksanaan operasionalisasi penyelenggaraan pemerintahan di provinsi baru.
Guru Besar Fisipol UGM Prof Purwo Santoso mengatakan, OAP masih sering terjebak konflik dan krisis kepercayaan selama 20 tahun pelaksanaan otonomi khusus di Papua. Gagasan mengedepankan kekhususan Papua masih sangat membingungkan, utamanya pada level detail. Pemerintah kerap menggunakan perspektif hitam putih di atas realitas sosial, sehingga masih menyisakan berbagai persoalan.
Gagasan Papua damai menurutnya tidak boleh dimaknai hanya dengan sekali dialog. Proses tersebut harus terus berjalan seperti mendialogkan data, tata berpikir, dan melekatkan cara kerja birokrasi, sehingga menjadi ruh baru.