SMjogja.com – Dalam rangka menyambut peringatan Harlah Satu Abad NU pada tanggal 7 Februari 2023, NU telah merilis tema peringatan Harlah 1 Abad NU. Melansir situs resminya, PBNU mengusung tema Harlah 1 Abad NU ‘Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru’.
Tema ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW tentang lahirnya pembaharu di setiap satu abad.
Tema ini mencerminkan peran ulama dan santri dalam sejarah bangsa karena selalu ada di setiap fase perjalanan bangsa Indonesia”. Mengingatkan kita pada dua hal: Pertama pemaknaan santri Nurcholish (1997), bahwa “kata santri berasal dari kata “sastri” sebuah kata dari sansekerta yang artinya melek huruf, dikonotasikan dengan kelas literary bagi orang jawa yang disebabkan karena pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab yang bertuliskan dengan bahasa Arab.
Diasumsikan bahwa santri berarti orang yang tahu tentang agama melalui kitab-kitab berbahasa Arab dan atau paling tidak santri bisa membaca al-Qur`an, sehingga membawa kepada sikap lebih serius dalam memandang agama.
Kedua; Imam Ghazali, pengarang kitab Ihya Ulumuddin. “Bila kau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka menulislah,”. Seorang tokoh besar tak mungkin lepas dari buku bacaannya, setiap aktivitas harinya tak mungkin berjauhan dengan buku.
Sebagaimana lakon santri yang dididik di pesantren oleh kiainya untuk selalu mengaji. Tak selalu melulu untuk mengaji saja, namun juga diajarkan untuk menjadi unggah-ungguh santri yang baik. Pun sebaliknya, seorang santri tak mungkin lepas dari kontrol kiainya sebagai tumpuan transformasi ilmu.
Dari kacamata kiainya, seorang santri harus berani untuk apapun itu.
Berani dalam belajar, berani istikamah, berani prihatin/mandiri untuk menuntut ilmu atau menjadi khadimul ilmi. Sejatinya santri mendekat dengan kiai. karena setinggi apapun jabatan dan mahkota seorang santri ketika sudah sukses dia secara nalurinya otomatis akan taqdim kepada murobbi ruhinya atau kyainya yang telah membimbing mengantarkan menuju kesuksesan.
Buku tentang wawasan ilmu ilmu umum memang sangat jarang ditemukan di pesantren. Perpustakaan pun sama halnya sangat jarang ditemukan di kalangan pesantren. Kalaupun ada jumlahnya sangat terbatas tidak secara menyeluruh, di samping itu juga terbatasnya tempat dan pendanaan.
Tradisi kegiatan membaca dan menulis sebenarnya sudah berjalan lama di pesantren dengan adanya kitab kuning yang dikaji oleh para kiai kemudian santri mencatatnya diselembaran kitab yang belum dia maknai atau dalam bahasa lain mengabsahi kitab dengan huruf pegon Jawa.
Secara arti budaya literasi merupakan kebiasaan berpikir yang diikuti proses membaca menulis, yang pada akhirnya apa yang dilakukan dalam proses kegiatan tersebut menciptakan karya. Memang, di kalangan pesantren kitab kuning merupakan sebagai identitas dirinya yang mebedakan intansi pendidikan dari yang lain. Bahkan bisa dibilang jika suatu lembaga pendidikan tidak bisa disebut pesantren jika di dalamnya tidak mengkaji kitab kuning.
Makna lainya, literasi adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, literasi tidak bisa dilepaskan dari kemampuan berbahasa (Wikipedia).
Secara kultural pengajaran kitab kuning telah menjadi ciri khusus di pesantren dan tetap berjalan sampai saat ini. Kitab kitab klasik yang dipelajarinya di pesantren sangatlah berguna untuk menyongsong kehidupan lebih terarah, apalagi untuk meneruskan tradisi keilmuan klasik ini mencermikan kultur keislaman yang khas yang berbeda dengan kultur keislaman yang lainnya.
Gerakan Santri Menulis dari kalangan santri; Mnjadi tradisi budaya menulis di kalangan ulama, kyai, santri di pondok pesantren, dan juga mahasiswa, semakin luntur tergerus oleh situasi, ini sebuah situasi yang memprihatinkan, mengatasi masalah tersebut sangat dibutuhkan untuk membangunkan kembali semangat menulis (Suara Merdeka Rabu (13/4/2022).
Menulis terkadang menimbulkan multi persepsi bagi pembacanya, menulis membutuhkan pengetahuan dan keahlian yang memadai, terlebih penulisan jurnalistik.
Fakta tersebut diperkuat oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yang menyebutkan minat membaca masyarakat Indonesia sangat rendah di mana hanya 0,001 persen atau 1 dari 1.000 orang yang rajin membaca. Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 menyebutkan tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia secara keseluruhan berada di angka 59,52 dengan durasi membaca 4-5 jam per minggu dan 4-5 buku per triwulan.
Data lain dari Perpustakaan Nasional RI menyebutkan jika rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per pekan. Untuk setiap buku, kita menghabiskan waktu rata-rata 30-59 menit. Jumlah buku yang ditamatkan hanya 5-9 buku per tahun.
Data di atas mengkonfirmasi bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih terbilang rendah termasuk rendahnya minat baca dikalangan santri tentunya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Dalam upaya meningkatkan dan menguatkan budaya literasi di pesantren ada beberapa hal yang dibutuhkan. Diantaranya seperti: (1) Perpustakaan tempat yang didalamnya terdapat perhimpunan segala macam informasi, baik yang tercetak maupun yang terekam dalam berbagai media yang dipergunakan untuk kepentingan belajar melalui kegiatan membaca dan mencari informasi.
(2) Koleksi Buku atau Kitab; Terwujudnya budaya literasi di pondok pesantren tidak bisa luput dari adanya koleksi buku atau kitab. Dengan adanya koleksi buku atau kitab di pondok pesantren diharapkan dapat mencukupi kebutuhan bagi santri.
Jika koleksi buku atau kitab lengkap maka akan memudahkan bagi kalangan santri untuk mencari referensi atau sekadar menambah wawasan sehingga meningkatkan minat baca bagi santri, sebaliknya jika koleksi buku atau kitab minim maka santri akan malas untuk berkunjung ke perpustakaan. (3) Pembiasaan Membaca dan Menulis; dengan Penggunaan kitab kuning di kalangan pesantren sudah lama diajarkan dan dibudayakan.
Dengan menulis makna kitab dan membacakannya ketika dihadapan kiai merupakan kegiatan yang umum dilakukan santri; (4) Pesantren juga perlu menyediakan ruang media publikasi. Tersedianya ruang publikasi akan memberikan semangat para santri untuk menuangkan gagasannya ke dalam karya tulis. Karena itu, pihak pesantren perlu menyediakan media, seperti majalah, tabloid atau media online.
Akhirnya, semoga dengan upaya pemenuhan kebutuhan tersebut, para santri bisa mewarisi semangat literasi ulama-ulama terdahulu, sehingga kelak mereka menjadi pribadi yang berwawasan luas (tafaqquh fiddin) dan menebar manfaat di tengah-tengah umat (khairunnas anfa’uhum linnas).
Penulis : Abdullah Al-Kafi, M.S.I.