Wajah Kultural Hukum Indonesia

Dr Immawan Wahyudi / ist

ORANG Jepang sudah lama mengkritik proses persidangan di Amerika Serikat sebagai arena adu gulat, bukan untuk mencari keadilan. Orang Jepang lebih membanggakan persidangan di negerinya sebagai precise justice. (Satjipto Rahardjo, Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, hal 63).

Dalam kuliah tahun 1999 di Magister Hukum UII, Prof Satjipto acapkali memberikan gambaran wajah hukum dari suatu praktik peradilan yang kemudian menjadi kisah abadi wajah kultural hukum suatu masyarakat. Berkaitan dengan praktik peradilan di Amerika Serikat yang dijadikan contoh adalah kasus OJ Simpson –seorang atlet tersohor yang dituduh melakukan pembunuhan tingkat dua terhadap istrinya. Sedemikian rupa masyarakat meyakini OJ Simpson bersalah. Namun atas kepiawaian kuasa hukum OJ Simpson, oleh juri dinyatakan tidak bersalah.

Dalam kasus ini ada dua catatan yang sering diulas dengan antusias. Pertama, kuasa hukum OJ Simpson adalah pengacara handal dan mahal. Anehnya, kuasa hukum tidak memfokuskan untuk membuktikan bahwa OJ Simpson tidak bersalah, tetapi memanfaatkan kecerobohan polisi yang tidak teliti. Sedemikian rupa kuasa hukum mengeksploatasi kecerobohan polisi sampai berhasil mempengaruhi para juri untuk menyatakan OJ Simpson ”not guilty”.

Kedua, dampak putusan peradilan menimbulkan reaksi keras masyarakat yang umumnya meyakini OJ Simpson bersalah. Atas kenyataan tersebut seorang advokat menyarankan agar tulisan di dinding Supreme Court yang berbunyi ”Equal Justice Under The Law” ditambah dengan ”To All Who Can Afford It” untuk semua orang yang mampu membelinya. Kritik yang pendek tapi keras dan pedas.

Read More

Pada sisi lain penulis teringat running text di Metro TV (04-08-2006) yang menulis ”Hampir 75% tersangka kasus teroris yang ditahan AS selama kurun waktu 5 tahun, tak pernah diajukan ke persidangan karena kurangnya bukti”. Padahal AS adalah negara yang dikenal sebagai benteng dari exclusionary rules yang sangat mengunggulkan prosedur di atas substansi. Artinya budaya hukum negara sekaliber AS sekalipun tidak teruji untuk selalu konsisten dengan kredo-kredo yang dibangunnya sendiri.

Kontrak dan Persahabatan

Satjipto juga mengulas perilaku orang Jepang apabila mengalami persoalan dalam perjanjian. Penyelesaiannya lebih mementingkan memelihara persahabatan dibandingkan memegangi teks kontrak secara zakelijk. Artinya, moral dalam masalah hukum bagi orang Jepang lebih didahulukan dibandingkan memegangi atau berorientasi pada kalah-menang dalam berperkara. Padahal, kualitas praktik hukum masyarakat Jepang lebih diunggulkan daripada AS.

Di Indonesia, sering terlontar komentar sinis, di mana kasus sering diselesaikan tanpa penyelesaian. Maksud dari ungkapan ini banyak maknanya. Pertama, kasus memang tidak pernah dsielesaikan. Sering terjadi pada kasus-kasus yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Kedua, selesai dengan tidak jelas logika dan konsistensi hukum sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Dalam hal ini acapkali terkait dengan adanya pihak yang memiliki kekuasaan strategis.

Ketiga, kasus diselesaikan dengan melawan rasa keadilan dan mengabaikan realita opini masyarakat. Dalam kasus ini seringkali terkait dengan perkara yang melibatkan masyarakat ekonomi lemah melawan masyarakat kelas atas.

Dalam kasus ”polisi menembak polisi” ada kebijakan-kebijakan Kapolri yang secara umum memberikan harapan baik dalam penyelesaian masalah yakni transparan dan diungkap seperti apa adanya. Meskipun hal ini nampaknya bersumber dari intruksi Presiden Jokowi, namun langkah Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit patut diapresiasi.

Mengingat kasus tersebut sangat kompleks terutama berkaitan dengan isu HAM, etika Jabatan, dan moralitas aparat, maka akan memberikan dampak ”historis abadi”, Dampaknya membawa pada stigma wajah kultural hukum Indonesi. Intinya, jika orang melihat kasus hukum semata-mata bagaimana hasil atau putusan peradilan, itu baru setengah dari makna hukum. Separoh lainnya yakni moral hukum, maksudnya moralitas aparat hukum. Bila moralitas terabaikan maka akan meninggalkan jejak sejarah hukum yang kelam di negara hukum.

Penulis teringat perkataan Charles de Guardia yang dikutip oleh Marcel A Boisard dalam ”Humanisme dalam Islam”. Charles mengatakan ”Hukum itu, dengan disertai matematika, adalah cara yang paling jitu untuk menghilangkan bukti-bukti”. Ungkapan yang cerdas dan sarkastis mestinya memicu aparat hukum untuk menegakkan kejujuran dan moralitas agar hukum tidak semata didasarkan pada asas rule of law. Basis moral bangsa ini adalah Pancasila yang secara yuridis formal merupakan sumber dari segala sumber hukum negara.

  • Penulis, Dr Immawan Wahyudi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Related posts

Leave a Reply