JOGJA, SMJogja.com – ”Melukis adalah perayaan kesenangan, melepaskan tenaga dari himpitan kekhawatiran pikiran, tanpa membatasi lontaran tenaga sendiri supaya tidak membendung chi sendiri, dengan menemukan kanal atau portal yang sehat,” tutur aktor Whani Darmawan.
Ia mengungkapkan itu ketika menyampaikan orasi pada pembukaan pameran lukisan ”40+ and Alive” di Perum Parangtritis Grahayasa I blok A 4 Tarudan Bangunharjo, Sewon, Bantul. Para perupa yang menamakan dirinya Kelompok Parkiran memajang karya-karyanya.
Whani mengungkapkan pameran dalam rangka Hari Menggambar Nasional merupakan perayaan kesadaran atas penemuan bahwa ternyata estetika seperti limpahan air di samudra yang debitnya bisa luas tak terbatas, dalam tak terselam. Bahkan seperti teori pucuk gunung es di tengah lautan dan terkadang manusia hanya berhasil mendapat percikan, sementara magma di dalamnya bergejolak luar biasa.
”Penemuan seperti ini sangat membahagiakan. Bersyukur bagi mereka yang menemu kearifan metode perawatan estetika dalam hidup sehari-hari, sebab keberadaan maupun jenis media terasa amat kecil meski tak dapat dipungkiri hal teknik tetap saja musti ditempuh dalam pembiasaan. Dan yang mengagetkan bagi saya, muncul suatu kesadaran bahwa estetika tak pernah mati. Kita hanya tak hirau dengan keberadaannya. Kesalahan banyak manusia adalah tak hirau dengan talentanya sendiri,” papar peraih Piala Citra FFI 2019 itu.
Komunitas Lama
Ia mengungkapakan situasi sekarang, seni rupa menjadi profesi tak dapat disalahkan jika penyikapan atas profesi kesenirupaan itu pun disikapi secara industrial. Meski pada saat yang bersamaan seni rupa masih saja menunjukkan sisi misteriusnya antara arga material dengan nilai immaterialnya. Ia mempertanyakan bisa jadi komoditi yg bersandar pada dunia ide dan platonik ini berhasil dimainkan oleh kaum saudagar seni rupa.
”Bagaimana bagi mereka yang tak berbakat merangkap jadi saudagar ? Mungkin ada baiknya bersandar pada kebijakan satir, jodoh ada di tangan Tuhan, rejeki tak lari kemana,” ujarnya.
Pada kesempatan itu Whani menjelaskan Kelompok Parkiran adakah komunitas lama di Yogyakarta. Tumbuh di area Parkiran FSRD ISI Yogyakarta. Dalam suatu pameran di Galeri Nasional tahun 2011 Jim Supangkat menulis, ”Berbeda dengan kelompok lain yang mengusung sesuatu keyakinan seni atau bahkan ideologi, kelompok ini tidak punya ikatan, tidak punya keanggotaan tetap dan tidak punya ideologi bahkan tidak punya tujuan. Kelompok Parkiran dikenal sebagai kelompok pemabuk yang sering diangkut polisi. Di satu sisi, kelompok ini bisa dilihat sebagai kaum terbuang seperti halnya street artists. Namun di sisi lain, kelompok ini bisa dilihat sebagai orang-orang yang cenderung berada di luar sistem”.
Hari Menggambar Nasional bagi Kelompok Parkiran menjadi momentum reflektif untuk memerdekakan diri menempuh jalan meditasi estetik. Titik tekannya, setiap manusia berhak atas kegiatan itu demi suatu pencapain hakekat kebermainan yang puluhan tahun lampau diingatkan oleh seorang filsuf bernama Johan Huizinga melalui teorinya Homo Ludens.
”Di abad milenial ini, di mana ruang dan waktu hanyalah lipatan-lipatan origami yang dimainkan oleh ujung jari melalui layar handphone, di mana batas-batas profesi mungkin tak selalu pararel dengan identitas atau sebaliknya. Siapapun boleh menggambar. Semoga Yang Maha Estetik memberikan anugerahnya kepada kita bersama,” ujarnya menutup orasi.